Prie GS dalam Sekejap Masa


 











Saya berulangkali mencoba merenungi, apa saja yang telah terjadi sepuluh sampai lima belas tahun ke belakang, sehingga saya bisa melewatkan kiprah Prie GS. Pada hari berpulangnya beliau kepada keabadian, Jumat, 12 Februari 2021 lalu, saya baru menyadari bahwa dorongan menulis saya ketika remaja bertumbuh dari kumpulan esainya yang dibukukan tahun 2004 dengan judul Merenung Sampai Mati.

Itulah buku Prie GS satu-satunya yang saya miliki dan ikut diboyong kesana kemari saat berpindah kota, kos ataupun kontrakan. Bukan untuk saya baca ulang sejujurnya, tapi ada semacam perasaan bahwa buku itu adalah penanda penting suatu masa dalam hidup saya, sehingga layak bertengger dalam rak buku kecil saya dimanapun saya bertempat tinggal. Menaruhnya dalam rak bukupun bukan persoalan sepele, karena saya hanya memiliki satu rak kayu kecil yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat buku, sehingga banyak buku menarik yang harus mengalah dan tetap berada dalam kardus buku-buku, atau saya tinggalkan di rumah ibu saya di Semarang. Buku ini entah mengapa selalu membuat saya bimbang, ada rasa bersalah kalau saya campakkan, sehingga berulang kali ia menempuh perjalanan Semarang-Yogya dalam kurun waktu 15 tahun.

Meski demikian setianya berpindah bersama buku ini & menaruhnya di rak dengan posisi terbaik, namun sungguh memalukan sebenarnya bahwa saya tak pernah membaca ulang atau menyinggung beliau dalam percakapan ringan maupun dalam dengan teman-teman. Mungkin terdengar ironis, seolah membanggakan guru yang demikian hebat, namun tak pernah benar-benar memperhatikan sepak terjangnya dalam bidang yang ia geluti. Betapa kurang ajarnya saya sebagai murid.


 

Persilangan dan Titik Temu

Bila diingat lagi, tahun 2004 saya baru diterima kuliah di Yogya dan berada dalam masa transisi menjadi mandiri. Saya terlalu kaku untuk berkawan dengan siapapun, dan mulai coba-coba mencari bacaan yang cocok dengan pribadi saya. Saya suka membaca buku yang ringan semasa SMU, seperti komik Donald Bebek atau manga, novel kocak semacam Lupus, buku motivasi semacam Chicken Soup, dan tak terlalu tertarik membaca literasi yang terkesan berat semacam novel, esai, bahkan cerpen (tapi saya suka puisi sejak kecil). Tapi ada angin apa sehingga saya akhirnya memilih kumpulan esai Prie GS? (Itupun sebelumnya saya tak pernah benar-benar yakin jenis tulisan semacam itu diklasifikasi secara resmi dengan sebutan esai).

Sebuah kebetulan aneh, yang jika dirunut lagi, bukan saya yang benar-benar tahu dan mengidolakan beliau, melainkan: almarhum Papa. Jadi, kalau saya cocokkan dengan waktu buku ini dibeli, mungkinkah saya hanya sedang merindukan sosok ayah yang sedang jauh di rumah? Mungkin. Sangat mungkin, mengingat saya baru 4 bulan merantau di kota yang rasanya pada waktu itu: jauuuuh sekali dari Semarang. Tapi pembelian itu tak pernah saya sesali, justru merupakan penemuan yang membangkitkan rasa ‘tercerahkan’, meluaskan cara pandang saya dengan aktivitas menulis. Sesudah khatam dengan buku tersebut, buku harian jadi sasaran empuk untuk latihan menulis bergaya kontemplatif ala-ala Prie GS. Bisa jadi lahirnya blog inipun berhutang banyak pada energi beliau di buku tersebut.

Pada Prie GS, sesungguhnya saya sedang mengingat kualitas yang tumbuh pada pribadi Ayah. Celetukan-celetukan ayah ketika membaca koran ataupun menonton berita, sepertinya merasuki alam bawah sadar saya. Ayah pembaca koran yang cukup rajin, pagi siang malam ada saja yang dicek di koran (ia membaca dengan model dicicil). Setiap menonton televisi, selalu memilih acara berita atau pengetahuan. Setiap ada kosakata asing di koran, akan saya kumpulkan dalam catatan dan saya tanyakan beliau. Membuat kliping adalah tugas favorit, karena moment pula buat ayah untuk membantu saya. Ia memiliki buku agenda bersampul hardcover batik yang selalu diisi dengan hal-hal yang ia lakukan & pengeluaran-pengeluaran sepele sampai serius (dan ia memiliki tumpukan buku jurnal ini dengan kaver depan ditandai tanggal dimulai dan tanggal halaman akhir). Kebiasaan ini sepertinya menular, seolah ingin meniru segala yang ia lakukan. Saya kira, nama Prie GS pun muncul dalam benak kecil saya, karena celetukan beliau saat membaca koran Suara Merdeka, surat kabar yang menjadi lahan Prie GS bercocok-tulis dan gambar di awal karirnya sebagai kartunis cum jurnalis.


Memento Sebuah Buku

Bukan mengecilkan peran Prie GS dalam hal kepenulisan sehingga saya melewatkan kiprahnya, tentu saja gaya tutur dalam tulisannya tak diragukan lagi daya pikatnya. Banyak yang mengakui dan menuliskannya dengan lebih tajam dibanding saya yang hanya punya dan baca satu bukunya saja. Namun juga, ada ingatan lain yang sifatnya personal yang mengiringi pembacaan saya pribadi terhadap sebuah buku. Sebuah pemikiran yang dijilid dalam sebentuk buku, tidak hanya berisi pemikiran penulisnya semata. Pada momen ketika ia diputuskan untuk dimiliki atau dibaca, ia turut menyumbang ruh yang menumbuhkan ikatan-ikatan aneh yang menjadi penanda kesadaran seseorang. Sebuah buku akan sangat berkesan di usia tertentu dengan situasi kondisi tertentu, seakan menjadi sebuah sinkronisasi atas banyak faktor, sehingga bisa mempunyai nilai-nilai yang sangat personal. Ini sedikit menjelaskan mengapa ada buku yang demikian menarik buat seseorang, namun belum tentu memikat untuk orang lain (dengan ketertarikan yang sama terhadap genre/penulisnya, misalnya). Belum tentu pula ia tetap berkesan pada pembacaan ulang 5-10 tahun kemudian. Sangat mungkin juga buku yang sama akan lebih memikat dibaca puluhan tahun kemudian. Pada kasus ini, rasanya hanya sekejap percikan kesadaran itu saya sadari di masa itu. Sangat disayangkan pula, bahwa saya baru merenungkannya ketika beliau telah tiada.

Beberapa bulan setelah berpulangnya, saya menemukan ternyata beliau cukup aktif di banyak media sosial. Tulisan-tulisan di media sosial tetap menyentuh sampai saat ini, bahkan di sebuah konten video YouTube, saya menemukan daya gugah yang sama, bahwa caranya berbicara & mengolah kalimat, hampir serupa dengan gayanya menulis (paling tidak di buku Merenung Sampai Mati, yang ditulis 15 tahun sebelum konten tersebut). Bisa dibilang plek ketiplek. Membaca tulisannya, seolah sedang mendengar beliau berbicara langsung: diksi yang terpilih meski berada dalam diskusi spontan, dan tak lupa selipan mengolok-olok diri sendiri yang membuat pendengar/pembaca merasa akrab (hampir-hampir kurang ajar :). Seakan tak banyak berubah. Bisa dibilang, kekaguman saya sepertinya tidak akan luntur, ketika saya coba membacanya kembali kini, ia tetap memikat, olok-oloknya jujur & menghibur, wejangannya penuh kasih dan rendah hati, ia bahkan tak lelah untuk merenung, hingga akhir hayatnya.

Selamat Jalan, Om Prie GS...

Terimakasih banyak sudah menghadirkan daya pada segala peristiwa & kesadaran remeh yang mungkin hadir sekejap-sekejap. 




"Semua jenis perasaan, ternyata butuh teman untuk berbagi. Kita tidak bisa marah sendirian, terharu sendirian, bahkan untuk malupun kita tidak bisa sendirian. Sekali waktu, dalam hidup kita pasti pernah mengalami jenis kesialan yang tidak bermutu. Kesialan bukan hal serius, tidak juga mengancam nyawa, tetapi ia menjadi derita jika kita sendiri. Terpeleset, menabrak pintu kaca, salah masuk ruangan...adalah hal-hal yang berat ketika sendiri, tetapi menjadi lelucon saja ketika kita bersama-sama. Begini hebat kebutuhan manusia untuk berbagi itu. Jika rasa malu saja butuh dibagi, apalagi rezeki. 

              (Aib Pun Butuh Dibagi, hal.34)


Komentar