Menyimak: Percakapan Diam-diam



Buku puisi pertama yang saya baca tahun ini lebih menarik dari buku puisi yang saya baca beberapa tahun lampau, sekitar dua atau tiga tahun lalu (lampau: kedengarannya sangat lama sekali ya?) Dan ya, buku puisi adalah hidangan musiman untuk dibaca, seperti buah musiman yang belum tentu kita beli, buku ini saya peroleh bukan juga atas kehendak sadar saya, ia adalah buah tangan dari seorang kenalan baru yang rupanya kawan lama dari illustrator buku puisi ini, Koskow

Perangkai kata-kata singkat nan 'dalam' ini ialah Lelaki Budiman, dan salah satu alasan yang membuat buku puisi ini menarik adalah kemasan-nya yang collectible (maksud saya layak koleksi). Saya pribadi, kurang menyukai membeli buku puisi, yang saya takutkan tidak membekaskan inspirasi apa-apa untuk hari-hari saya selanjutnya. Kalau mau membaca rangkaian kata yang bagus saya bisa tanya mesin pencari di langit-langit, tanpa membeli bentuk fisiknya. Banyak sekali, dari penulis blog amatir seperti saya, sampai penulis professional. Memang mudah dan efisien, tapi tentunya,  seperti karya lukis, puisi juga punya kanvasnya sendiri. Bila tidak, ia seperti hantu ide yang melayang dan belum jelas penampakannya. Puisi butuh pijakan. 

Dalam buku ini, bukan puisinya semata, atau ilustrasinya seorang, namun perpaduan keduanya-lah menghasilkan ‘pijakan’ atau karya tersendiri yang saya bilang collectible. Berikutnya saya dimanjakan oleh tata ruang yang sama ‘berpuisinya’,  alias jeda yang ikut mewakili perasaan penulisnya, sekaligus interpretasi ilustratornya. Desain buku ini-pun secara keseluruhan mewakili ‘rasa’ puisi-nya. 

Kemasan puisi bisa saya uraikan seperti ini: Apabila puisi disampaikan dalam bentuk pertunjukan, maka rangkaian kata-nya harus dibantu oleh mimik muka, seting panggung dan pencahayaan, olah vokal, bahkan penampilan si penyair itu sendiri. Nah, pendengarnya bisa jadi terpukau, ikut trenyuh, ikut marah atau malah bosan. Maka seperti halnya pertunjukan puisi, apabila puisi disampaikan dalam bentuk buku, elemen visual dua dimensi-lah yang akan membantunya lebih ‘memukau’, atau setidaknya lebih patut untuk dimiliki (dan harapannya agar lebih diapresiasi). Kurang lebihnya, puisi Lelaki Budiman telah memiliki ‘ruang pijaknya’, dengan menggandeng illustrator yang (saya kira) juga menyukai puisi, dan desain tata letak yang menjembatani kata-kata dan ilustrasi dengan cukup baik. Kalau butuh penyimak, kolaborasi seperti ini lebih menarik untuk orang kebanyakan yang sudah lupa ada puisi di dunia ini. Dan kalau butuh peneliti bagaimana puisi layak divisualkan dalam bentuk buku, buku ini bisa menjadi eksperimen Anda. 

Mungkin saya terlalu ber-omong-omong dari sisi visual, karena menurut saya, buku puisi ini memang tidak lagi sendirian milik si penulis ketika ia sudah mempunyai ruang berpijaknya, yang notabene: dipatrikan dengan mata, dan itu berarti ia sudah menjadi karya visual. Lihat pada lembar berjudul Jejak Kemarau, Suatu Pagi di Alun-alun Kecil, Setelah Sunyi, Surat Pendek untuk Calon Istriku :

Jejak Kemarau

Surat Pendek untuk Calon Istriku

Adalah Kau

Setelah Sunyi

Sebab Kematian Adalah Berhala Semua Agama


Penggalan dalam judul, penggalan dalam isi puisi, lembaran hitam pekat, kalimat yang dibikin melingkar, dan bahkan huruf-huruf dengan ukuran kecil pada bait pertama, lalu semakin membesar sampai pada bait ketiga dalam puisi Sebab Kematian Adalah Berhala Semua Agama, adalah eksplorasi secara visual selain ilustrasi, yang berusaha diungkapkan si penulis (atau mungkin ide orang lain, entahlah, tapi setidaknya ia sudah memakai cara visual tertentu agar puisinya ter-rasa-kan).  

Jadi, buku puisi yang diterbitkan dan dijual terbatas ini, adalah sumbangan ide mengenai kemasan puisi, bukan sekedar ide mengenai isi puisi itu sendiri. Yang belakangan adalah sangat umum, dan tentunya diterbitkan dengan ‘kegelisahan’ bahwa penerbitan buku puisi adalah salah satu cara untuk merugikan penerbit (:P). Buku puisi ini, lantang dan maksimal, dan saya yakin dibikin dengan kolaborasi sepenuh hati dari penulis, illustrator, dan desainernya. Tinggal, bagaimana Anda melacak penulis, illustrator atau penerbitnya untuk (siapa tahu) cetak ulang, mengkoleksinya, dan…  Anda tahu apa yang saya maksudkan:)

Komentar

  1. Akhirnya menulis juga. Lama tak menjumpai tulisan Natalia. Terima kasih untuk tulisan kali ini. Jangan terlalu mengelap-elap, kritiklah sesekali dalam artian selalu saja ada bolong-bolong di sana sini. Salam

    BalasHapus
  2. trims jg sudah mampir gubuk tulisan saya Pak Koskow & Lelaki Budiman^^ saya sekedar menuliskan yg saya rasakan, memang tidak terlalu dalam karena saya jg belum membandingkan dgn banyak buku puisi lain,,,ya siapa tahu yang mampir membaca tulisan ini ada yg berminat untuk mengkritik lebih mendalam bs langsung terhubung ke penulisnya. hehe:)

    BalasHapus
  3. Halo, salam kenal :)
    Saya malah mengenal puisi-puisi ini dari kartu yang dibagi secara cuma-cuma di sebuah kedai kopi. Yang mendesain ternyata teman sendiri yang membuat saya langsung mengenali tata letaknya..ilustrasi mas Koskow juga mengena. Sayang, saya belum sempat beli bukunya...diterbitkan dimanakah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo elgaayudi, salam kenal juga^^
      Setahu saya diterbitkan terbatas, penerbitnya Tan Kinira Books dengan alamat via twitter penulisnya: @Lelaki Budiman & imel: surat@lelakibudiman.com. Semoga cukup membantu:)

      Hapus

Posting Komentar