Sebelum tutup tahun, sebaiknya
peristiwa awal November lalu tak kutunda lagi untuk dicatatkan. Menunda memang
biang lupa…begitupun ingatan ini mungkin tak sejernih ketika malam itu aku
pulang bergerimis, sambil terus
mengingat hari terakhir Bundakata di Semarang. Stan Bundakata urung kujaga
malam itu, karena baru datang selepas Maghrib dan waktu tersisa hanya beberapa
jam sebelum pameran buku ditutup. Beberapa stan sudah merapikan diri karena itu
hari terakhir pameran Semarang Sejuta Buku (12 November). Aku tak berharap
banyak malam itu, hari terakhir dan malam selepas hujan membuat pameran lebih
sepi dari sebelumnya. Aku memasuki ruang pameran dan memilih untuk masuk ke
stan buku bekas yang belum sempat kuhampiri sejak kemarin. Setelah membeli
beberapa buku cerita bergambar, aku kembali ke stan dan mengobrol sejenak
dengan panitia di stan sekretariat yang ada di depan stan Bundakata. Meja di
stan Bundakata kubiarkan melompong bersih, hanya sebuah panel berhias lembar-lembar
tulisan yang tak lagi rapi yang menandai keberadaannya.
Memang ada pengunjung berlalulalang dan sejenak henti sambil
mengamati lembar-lembar Bundakata. Tapi itu reaksi yang wajar, mungkin banyak
yang heran dengan penampakan lembar-lembar
tulisan tertempel di panel. Bisa jadi memamerkan tulisan adalah hal yang
tak lumrah, kerap kita menemui orang memamerkan karya gambar/lukisan,
fotografi, patung, busana, dan semacamnya.
Tapi memamerkan lembaran tulisan berisi cerpen, puisi, sajak, artikel, dll
untuk dibaca ditempat sangat jarang ditemui, paling tidak untukku. Karena itu
kukira melihat orang-orang henti di stan Bundakata lalu bergegas berjalan
kembali tak mengherankanku. Kuamati mereka dari seberang, membiarkan mereka
leluasa membaca sambil mengamati geriknya, namun aku tetap tak tergerak untuk berubah pikiran
bahwa stan harus dibuka.
Di sela perhatian setengah berpindah pada ponselku, seorang
pria luput dari amatan. Kukira dia akan lewat begitu saja dari Bundakata dan
membiarkan rasa penasarannya tak terjawab dan hilang digerus waktu. Di akhir
pertemuan malam itu kuketahui namanya Pak Estu. Setelah mondarmandir mengamati
beberapa tulisan, akhirnya ia bertanya pada orang terdekat dari situ, apa
maksud dari stan BundaKata buku gotongroyong. Mas Awang dari sekretariat yang
kebetulan bertukar tempat denganku menjelaskan semampunya, ia mungkin merasa si
pengunjung sekedar ingintahu saja tanpa banyakbanyak menuntut kejelasan
(seperti kebanyakan lainnya). Ketika keingintahuan Pak Estu makin merekah dan
memanjang waktu, akhirnya kuhampiri stan dan kubongkar isi kardus yang berisi
lembar-lembar Bundakata, menata semuanya dimeja, dan mulai menjelaskan.
Arus Kecil dan Sebuah Peristiwa
Kota Semarang menjadi ruang eksperimen pertama dari gagasan
Bundakata: buku gotong royong. Gagasan ini diawali dari Cak Udin dan Pak Koskow
yang ditulis dan dibagikan sebulan sebelumnya ke dinding-dinding jejaring
sosial beberapa kawan yang berminat untuk menulis. Awalnya gagasan ini sulit
kupahami, kubaca berulangkali dan ragu beberapakali. Tulisannya panjang lebar,
dengan misi yang tak bisa langsung kutangkap. Singkatnya ini menjadi sebuah
gerakan untuk menulis dan mencetak sendiri sebuah (atau lebih) karya tulis
dalam selembar kertas yang dilipat separo (sehingga menghasilkan 4 halaman). Temanya
adalah “Buku, Istimewa”, siapapun yang tertarik bergabung bisa membuat karya
dengan tafsir bebas, bisa dalam bentuk puisi, cerpen, prosa, artikel, komik,
dll. Karya yang terkumpul dipamerkan dan dihamparkan pada pengunjung, mereka
bebas menyusun karya mana yang akan disatukan dan dijilid menjadi buku.
Penjilidanpun sesukanya. Bisa dibarter dengan apapun karna penulis sudah
menanggung biaya cetak karya mereka sendiri.
“Masing-masing
penulis telah mengeluarkan sejumlah rupiah guna menggandakan karyanya. Demikian
pula dengan pembaca, ia menghargai apa yang telah ditulis oleh para penulis.
Cara menghargai itulah yang dilandasi nilai gotong royong, yaitu membuka
keragaman bentuk partisipasi sumbangsih. Hasil sumbangsih pun akan dikembalikan
ke dunia perbukuan.” *
Pada dasarnya, BundaKata menjadi sebuah ruang alternatif
dalam menerbitkan karyatulis. Begitu banyak orang yang menggemari kegiatan
tulis-menulis, begitu banyak pula penerbit yang melahirkan ruang bertumpu untuk
menjadi penulis. Namun bukan tanpa syarat dan ketentuan. Kita mesti lihai
merangkai kisah, perlu juga pembuktian telah teruji menulis diruang mana saja,
sehingga rekam jejak menulis menjadi pertimbangan penerbit dalam meloloskan
karya. Pada penerbit, kita juga harus setia menanti kabar berita, proses menuju
final juga melalui sekelompok penyaring katakata. Penyaring terkadang memiliki
standar ketat, kecenderungan, atau ramuan yang tepat agar sebuah karya tak
membikin penerbit sesak napas nantinya. Ramuan yang dianggap tepat melariskan,
membuat kecenderungan tersebut ditiru dan alhasil keseragaman antar penerbit dikhawatirkan
justru mendikte pembaca dan calon penulis. Yang tak menjual terpaksa ‘minggir’.
Arus besar ini lalu dicoba untuk diimbangi dengan arus kecil
(dan mungkin pendek), dengan sebuah ‘peristiwa’ (begitu istilahnya menurut
kedua penggagas tadi). “Bukan Lembaga
Tapi Peristiwa” menjadi judul pengantar BundaKata buku gotong royong, yang
dicetak dan dilampirkan setiap pembaca hendak menjilid lembar-lembar
pilihannya. Namun menjadi catatan, kita mungkin tak bisa menumpu pasrah pada
Bundakata semata dalam mewujudkan harapan semua orang untuk membukukan karya
tulisnya. Sebagai sebuah peristiwa dan bukan lembaga, ia meyakini bahwa
kemungkinan(imaji) bisa dimungkinkan (mewujud). Sebuah ingatan kecil (tapi
mungkin tak pendek) bahwa Bundakata dengan segala keterbatasannya menyempatkan
ada, justru menawarkan ruang (kemungkinan) baru yang bisa diwujudlakoni setiap
orang ketika menghendaki menulis dan membuku: tak harus melembaga atau bertumpu
pada lembaga.
“Gerakan
tidak selalu dimunculkan lewat/oleh lembaga. Ia juga dapat muncul lewat suatu peristiwa
bersama. Upload dan download lewat semangat gotong royong.”
Menggotong-royong Peristiwa
Banyak diantara pengunjung yang mampir ke stan Bundakata
menanyakan apakah ini digagas oleh komunitas dan jika ya apa namanya. Terkadang kujawab ya
terkadang tidak, hampir-hampir tidak terpikir apakah ini sebuah komunitas.
Keikutsertaanku juga karena perkawanan buku yang tanpa mengikat satu sama lain.
Tidak ada keharusan menjadi anggota atau pengurus. Hanya ada nama Bundakata,
yang dijelaskan sebagai buku gotongroyong,
jadi mungkin lebih tepatnya sebuah gerakan meramaikan penampakan dunia
perbukuan.
Seperti sebuah peristiwa dan bukan lembaga, aku hanya bagian
dari buku dan kotaku, maka aku sedia terlibat didalamnya, tanpa harus disebut
anggota apalagi pengurus. Siapapun bisa terlibat, pengunjung yang bersedia membarter
dan pembaca yang hendak berpartisipasi menulis dan mencetak sendiri karyanya
untuk diikutkan dalam pameran juga sudah dianggap ‘menggotong-royong’ peristiwa
ini. Dengan demikian kita menjadi komunitas pula, meski tak terencana dan merencana (komunitas
imajiner).
Siapapun juga bisa meneruskan cara serupa atau membikin
gerakan perbukuan lain, baik perorangan, kelompok, atau bahkan lembaga. BundaKata
tak luput dari langkah yang sudah dimulai gerakan lain. Ia terinspirasi dari
cara yang pernah diterapkan oleh Diskom Drawing Fondation (DDF), sebuah
komunitas senirupa di Jogja. Ia juga terberi melalui meja-meja berbeda yang mereka (Pak Koskow, Cak Udin,
dkk lain) singgahi ketika berkumpul dan berbincang tak tentu kerangka. Hilir
mudiknya ide di senggang waktu juga berperan. Kalau dipikir-pikir tak ada yang
tidak berperan, setelah mengada dan memeristiwa maka hujan dan anginpun patut
diperhitungkan perannya. Ia kerap muncul di malam-malamku menemani BundaKata
Selembar Perjumpaan
Buramnya kertas daur ulang pilihan Bundakata buku gotong-royong, dipilih untuk
mengapresiasi wacana ramah lingkungan. Tulisan kerap menyumbang konsumsi
berlebih pada penggunaan material kayu, maka gerakan paperless kerap digaungkan sebagai solusi atas yang berlebih
tersebut. Ia digeser oleh yang digital dan ringkas. Serba ringkas dan digital
ini bukan tidak bermanfaat, ia tersebar lebih cepat dan luas dibanding peran
kertas. Ia penting manakala Bundakata hendak mensyiarkan gerakan ini agar semakin banyak partisipan
yang bergabung, sehingga gagasan ini mewujud. Blog, e-book,e-paper, jejaring
sosial, web dan semacamnya adalah pilihan yang tersedia untuk digunakan dengan
berbagai motivasi menulis. Namun meng-ada-kannya lewat selembar kertas membikin
aku, kamu, dia, mereka, jadi Kita. Kertas ini
pun ialah kertas hasil olahan kembali. Kita diperjumpakan lewat kata tercetak, lembar tersebar dan timbul
kerut-kerut tanya dan senyum dan oooo…,
jadi begitu!. Berbagai macam ekspresi kujumpai di meja pameran. Kadang
masih saja Kamu tak mengerti dan
bergegas pergi, meski begitu Kita
tetap pernah berjumpa dan Kamu pernah
terhenti karena keberadaan kami. Melihat, mendengar dan menyentuh bukan tak ber-arti sebagai sebuah pengalaman
singkat, meski Kamu tak hendak
melibatkan diri lebih lama lagi. Ingatan yang mungkin akan menambah ruang kecil
di memorimu.
dari ki-ka: Ibu Tirta Nursari, Novita Dian, Utami Purborini, Mba Tabitha |
dari ki-ka jarum jam: Mas Luluk, Mas Jendriadi, Pak Estu Pitarto, Kel. Ibu Erlina Wati |
dari ki-ka jarum jam: Pak Slamet Widodo, Amalia Perdana, Pak Toharadna, Pak Rafiq Ali |
Terimakasih sudah tersenyum bersama Bunda Kata... maafkan keterbatasan saya mencocokkan nama & senyum kalian :) |
Perjumpaan ini dialami juga lewat para penulis yang mungkin tak saling kenal sebelumnya. Aku sendiri hanya mengenal sebagian, selebihnya adalah kawannya para kawan. Bukan jumpa badan dan senyum dan foto bersama, kita membuat perjumpaan dengan mencetak kata-kata dan kemauan untuk mewujudkan peristiwa. Kita pernah bertemu dengan cara dipertemukan pembaca, meski diantara kita memang tak saling bersua.
Pada saat pameran, perjumpaan antar lembar-lembar itu juga
menarik obrolan kala pengunjung sibuk memilih dan menyusun. Banyak anak muda
(dan terutama perempuan) yang singgah dan berlama-lama bertanya. Umumnya mereka
suka menulis, atau merasa tidak biasa menulis dan lebih antusias membaca.
Kutemui juga Ibu Tirta Nursari penggiat Warung
Pasinaon, di daerah Karang Jati dan Pak Estu dari Rumah Media di daerah
Tembalang. Ibu itu bercerita tentang kegiatannya di rumah bacanya yang tidak
melulu soal membaca, namun saling berbagi kemampuan/keahlian buat warga
disekitarnya. Ada pula anak-anak muda yang awalnya tertarik berhenti di stan
saat melihat karya komik satu-satunya di Bundakata (karya Wilsa), lalu turut ambil
bagian mengunduh semua lembaran karya jadi buku. Seorang mahasiswa sastra dari
Bandung di hari terakhir datang dan mengeluarkan handycam dan merekam wawancara denganku, berkata heran sekaligus
antusias dengan semangat kami karena sebagian besar tulisan dibilang ‘nyastra’
sementara sebagian besar pula partisipan bukan berasal dari sastra (kubilang
banyak pula mahasiswa politik atau ekonomi jadi desainer atau seniman :P). Pak Estu yang di hari terakhir membuatku
membuka stan, hendak merekamnya jadi sebuah catatan untuk di share di kegiatan rumah bacanya. Ada
pula seseorang yang menanyakan apakah gagasan ini bisa dicontoh di daerahnya.
Seorang ibu yang tertarik dengan semangat gerakan
ini namun menyayangkan penggunaan kertas
buram yang kami pilih. Ia sepertinya menghargai sekali peran tulisan
sebagai ekspresi dan kebebasan setiap orang sehingga mengungkapkan bahwa sayang
sekali jika semangat ini dituangkan dalam kertas buram yang cepat sekali rusak.
Penjelasan mengenai penggunaan kertas daur ulang yang kuutarakan tak mengubah
pendapatnya bahwa usia kertas buram singkat sekali. Namun ia tetap asik melipat
dan menyusun lembaran-lembaran itu sembari mengungkapkan uneg-unegnya.
Menurutku kertas buram juga bagian dari melibatkan siapapun bergotongroyong.
Ia membuat kita terlibat tanya yang tak mesti terjawab benar, tak mesti
tersimpan, kalaupun terjawab tak mesti dimengerti lekas-lekas. Siapapun bisa
mengutarakan dan mungkin memanggulkan solusi sesuai pemahamannya. Bahwa aku
pribadi menginginkan buku yang mereka bawa pulang itu harus tetap terjaga dan tersimpan dengan
molek setiap saat juga tidak harus. Menyimpan dan memiliki adalah bentuk
apresiasi terhadap peristiwa ini, tapi membaca dengan hati terbuka mungkin
lebih kuharap-harap. Ada banyak pembaca yang mengemari punya buku daripada
membaca dengan tenang dan santai (akupun seringkali demikian). Tak harus
terlalu berarti, juga tak harus langsung mati. Kalaupun suatu saat kertas buram
itu robek dan memudar, memori itu tetap tersimpan (entah muncul atau tidak),
atau membuat memori baru dengan memungkinkan kemungkinan baru. Kalau ia hilang
ia tetap akan berbicara, entah pada rumput atau dinding atau siapa saja yang
menemukannya.
Barter dengan Apapun
Awalnya digagas bahwa karya gotong royong ini tidak gratis,
nilai tukarnya sukarela, atau dibarter dengan buku pula. Namun dalam praktiknya
beberapa keberatan jika tidak dipatok dengan nominal tertentu, karena
kebingungan berapakah harga yang pantas
untuk sebuah semangat gotong-royong ini. Muncul pula pernyataan tidak siap
dengan buku bekas dan tidak pasti bisa berkunjung ke pameran lagi atau tidak.
Maka kemudian Mba Novi sebagai salah satu partisipan yang menulis dan
membantuku di stan, menyarankan agar pembarteran bisa dipilih apa saja, semampu
pengunjung. Dengan demikian pengunjung tidak terbebani harus membayar atau
menukarkan buku (karna tidak siap).
Ternyata ide ini cukup membantuku secara pribadi, dan
menarik pula untuk menjadi bahasan tersendiri buat Bundakata. Banyak yang
membarter dengan bikin puisi langsung didepan stan, menggambar, bahkan
membacakan puisi didepan stan BundaKata yang kebetulan dilintasi banyak orang
karna berada tepat di depan pintu menuju ruang utama pameran. Ada kenekatan dan
keberanian yang muncul dan membuat kita terpana dengan semangat seperti itu.
barter dengan apapun |
Semua karya tulis/gambar jika disatukan menjadi ruang
pameran tersendiri selain naskah-naskah dari BundaKata. Ada pula Mas Imron yang
baru kukenal di acara Happening Art malam minggu sebelum pameran, membarter
dengan harmonika yang sering digunakannya ‘manggung’. Ia bahkan menggantikanku jaga stan di Minggu
Sore karna aku mendadak harus pulang. Ia mencoba menawarkan dan menjelaskan
gagasan BundaKata yang mungkin agak sukar dipahami secepatnya, pula diruang
yang berisik bukan main. Beberapa pengunjung yang tertarik dan memutuskan untuk
membarter puisi juga dengan sukarela menjaga stan sembari asik menulis,
sementara aku dibiarkan berjalan-jalan sejenak atau menonton acara diskusi yang
sedang berlangsung. Mas Luluk menukarkan kumpulan puisinya yang dibuat khusus
untuk BundaKata. Aku pernah mampir ke blognya dan beberapa judul puisi seingatku
juga pernah diunggah di blognya. Mas Dadang membarter dengan buku “Semarang”
dari Citybook yang diterbitkan terbatas, berisi tentang kumpulan tulisan
mengenai Semarang dan foto-foto yang dijepret olehnya Mas Dadang sendiri. Pak
Rafiq dari stan Pustaka Lebah mampir dan membarter dengan buku ilustrasi
bergambar Indonesian Heritage.
Mba Rina & Mas Okik ikutan display BundaKata (kiri, tengah), Ratna yang sepekan ikut menemani (kanan) |
'Bunda' Novi (baju merah), Bundanya BundaKata :)) Cak Udin (baju hitam ngapurancang) Pak Koskow (baju hitam kacamata di atas kepala) |
ctt:
* dari pengantar Bunda Kata, Buku Gotong royong berjudul Bukan Lembaga tapi Peristiwa dokumentasi lain juga ada disini.
**sebagian besar foto diatas dijepret oleh Ratna Norhayati
sebuah peristiwa akan abadi dalam bingkai kata, Nuwun mbak mantap
BalasHapusmaturnuwun juga cak udin:)
Hapusberagam peristiwa seolah-olah telah menjadi milik kita dengan membaca, walau tak mengalaminya, berbagi peristiwa adalah hal sederhana namun cukup berharga yang tak ternilai nominalnya...
BalasHapus~salam gotongroyong~
Iya mas Luluk, minimal membaca saja sudah seakan mengalami (entah mengalami sudut pandang penulis atau peristiwa atau malah teringat pengalaman sendiri). Terimakasih sudah membaca, hadir, mengalami dan berbagi langsung disana :)
Hapusmantapppppppppppppppp
BalasHapusthankss nidlommuddin
Hapussiap! terima kasih!
BalasHapussamisami pak koskow
HapusAkhirnya paham juga apa yg dimaksud Bundakata.
BalasHapushai,,tengkyu sudah mampir Aji! Aku juga bingung awalnya..trus ikutan aja deh kirim. Ayoh kirim tulisanmu juga:)
Hapus