Sunset on Third Street

malam yang ramai bintang
Saya dibuat sedih, terharu dan geli dengan kisah yang digambarkan Saigan Ryohei. Komik yang tak saya duga sebagai ‘komik serius’, karena penggambaran tokohnya yang tidak biasa seperti komik Jepang umumnya.

...
Baiklah, mungkin cuma sekedar sudut pandangku saja yang menganggap ini serius, tapi jujur, hampir di tiap kisahnya ia menyentuh perasaan dan membuatku terbayang-bayang dengan kehidupan masyarakat Jepang era lampau, juga problema  kehidupan manusia yang (ternyata, dan memang) tak jauh beda dimanapun berada. Selain itu, gambarnya sekilas mengecohku untuk mengira bahwa ini komik kocak, proporsi badan pendek-pendek, matanya bulat sederhana, wajahnya bulat-bulat, dan kita bisa mengetahui ini tokoh cantik atau tidak dari wajahnya yang bulat tanpa noda dengan bulu mata yang dilentikkan. Kalau bisa disamakan, hampir-hampir mendekati komik Kobochan atau Chibi maruko-chan.

manisnya bentuk matahari
Tapi berbeda dengan dua komik itu, meski tokohnya tampak dibuat sederhana, Saigan menggambarkan suasana tiap adegan terasa ‘serius’, serasa diajak mengalami suasana jeda untuk berfikir sejenak. Ia menggabungkan teknik menggambar kekanakan sekaligus realis. Kota-kota, rumah, kereta api, peralatandapur dan lain-lain dibuat menyerupai aslinya, tapi lihatlah mataharinya yang amat sederhana, juga malam berbintang yang digambarkan dengan bentuk bintang besar-besar memenuhi langit. Bukan tipikal cerita anak-anak yang ringan dan kocak lalu terlupakan, ia mengajak kita berpikir. Berpikirlah dengan ringan, mungkin itu yang dimaui Saigan dari komiknya. 


Kisah penduduk kota kecil
Kota kecil di Jepang, yang disebut lebih khusus sebagai blok tiga Kota Yuuhi merupakan target cerita Saigan Ryohei. Kisah-kisah pendek dengan persoalan sehari-hari para penduduknya. Kebanyakan agak tragis, tapi diceritakan Saigan, seolah, begitulah hidup, yang menyedihkan harus datang, dan harus segera berlalu, memang seperti kenangan manis, tapi tidak juga. Hidup memang harus berlalu, waktu akan membuatnya tidak lagi tragis, tidak juga istimewa. (hampir) Selalu diakhiri seperti itu. Kadang aku masih dibuat terkejut karena ia mempersingkat cerita, ketika tak menyangka kebahagiaan si tokoh dibalik jadi suatu kesedihan, Saigan lalu mengantar pembaca dimana si tokoh terdiam dan daun-daun dihembus angin, lalu menerawang jauh, lalu cerita berhenti dan berlanjut ke kisah penduduk lainnya. Ada juga cerita yang tidak terlalu tragis, cuma sekedar menggambarkan perasaan sebuah keluarga muda yang hidup pas-pasan, tapi bahagia sekali ketika ada promo liburan murah ke pantai dengan persoalan kecil-kecil selama perjalanan. Dengan gambar karakter yang sederhana itu, aku bisa merasakan kepuasan keluarga kecil itu dengan ‘liburan murah’ mereka. Hebat! 

Aku menyukai hampir semua kisah para penduduk itu. Betapa, indahnya gunung ketika dinikmati dari kejauhan, namun sulit sekali menikmati gunung ketika sudah berada di gunung itu sendiri. Seperti itulah jika berada dalam kehidupan bertetangga, bersosial. Seolah semuanya baik-baik saja, tapi setelah mengetahui, walau sedikit saja suatu realita manusia lain, kita merasa lega, bahwa hidup kita, urusan kita, jadi tak terlalu berat dirasa. Itulah kesempurnaan. Kalau ada sedikit kekurangan, sempurnalah kita. Karena kekurangan kita menggenapi kebahagiaan orang lain, kebahagiaan kita menutupi kekurangan yang lain. Sempurnalah hidup. Persepsi kesempurnaan jadi  lebih manusiawi sekarang, paling tidak buatku. Kalau begitu, siapa bilang tak ada yang sempurna...? 

Sebuah pelajaran sederhana, aku dapat dari salah satu kisah berjudul Kunang-kunang. Sepasang suami istri beradu mulut ketika mereka sedang sarapan pagi. Adu mulut itu terpaksa dihentikan sang suami karena takut terlambat ke kantor, tapi meski suasana hatinya sebal, ia masih mengucapkan pamit dengan si istri, dan mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, si istri juga masih menjawabnya, “hati-hati di jalan!”. Saat itulah dia lalu tersadar, bahwa yang ia lakukan barusan salah. Si istri teringat kisah mudanya, ketika ia beradu mulut dengan ayahnya yang seorang sopir taxi (pada saat itu menjadi sopir merupakan keahlian khusus). Pertengkaran itu dihentikan si ayah karena harus segera berangkat kerja. Tiba-tiba ibunya marah, jangan lagi mengulangi hal itu: bertengkar dengan orang yang hendak bepergian, karena itu membuat suasana hati menjadi buruk saat berada di perjalanan.  Dan,walau itu bisa disebut sekedar kekhawatiran, benarlah, meski si ayah sopir taxi yang terlatih, malamnya ia tertabrak truk yang dikemudikan sopir mabuk dan tewas seketika. Si istri yang ketika itu masih remaja, sangat terpukul dan bersalah. Momen dimana ia mulai memaafkan dirinya sendiri ialah ketika ia melihat kunang-kunang dan mendengar makhluk itu bicara seperti suara ayahnya,mengatakan kalau ia anak baik, dan jangan bersedih lagi. Si istri, yang barusan teringat kesalahannya itu, lalu mengejar suaminya yang sudah agak jauh berjalan, lalu meminta maaf pada suaminya. 

Yang membuatku terharu, adalah kisah Tungku Arang Nenek. Tokohnya seorang anak SD miskin, yang tinggal bersama orangtua dan neneknya yang tak bisa berjalan. Neneknya meski lumpuh, tapi masih mau membuatkan makanan kecil kesukaannya dengan dibakar di tungku arang, juga sering memberinya uang jajan dari simpanan uang pensiun. Anak ini baik, ia juga mengurus neneknya saat  buang air, tanpa rasa jijik, dengan hati senang tanpa beban. Suatu hari sepulang main, ia mendapat kabar neneknya meninggal, sepertinya saat ia sedang membakar makanan kesukaannya, meninggal dengan posisi duduk di depan tungku arang. Semenjak itu, kesibukannya berkurang, tetapi ia merindukan neneknya yang baik.Uang jajanpun sekarang tak ada. Ia kesepian. 

Beberapa bulan kemudian, ibunya melahirkan seorang bayi, adiknya. Wajahnya mirip mendiang nenek. Cerita ditutup dengan adegan anak itu membersihkan popok si bayi sendiri, sambil tersenyum penuh kasih pada adiknya. Adegan itulah yang membuatku terharu, ekspresi si anak sewaktu mengurus popok si bayi... Mengharukan!

Selipan pengetahuan sejarah
Kukira komik ini bisa disebut juga cerpen grafis. Selain kisahnya yang menyentuh..ada selipan mengenai latarbelakang jaman dimana kisah itu terjadi, yaitu penjelasan mengenai artefak teknologi Jepang, juga kebudayaannya melalui beberapa acara ritual yang masih rutin dilakukan saat itu. 

stasiun Tokyo yang penuh kenangan
tren kamera lokal
Kisah-kisahnya terjadi saat Jepang sedang dalam masa pemulihan pasca perang, sekitar tahun 1945 ke atas, dimana kereta api jadi alat transportasi andalan, untuk bepergian piknik,menemui keluarga jauh yang sedang merantau di kota, juga, sebagai tempat kawin lari! (karena saat itu masih marak perjodohan). Kemunculan trem juga sangat berarti pada waktu itu, ia jadi tempat nostalgia seorang kekasih yang patah hati, juga tempat bekerjanya para kondektur wanita, dsb., juga masa awal munculnya mobil digunakan untuk pribadi. 

Ada pula kemunculan alat-alat rumah tangga yang disebut Tiga  Jenis Peralatan Dewa (TV hitam putih, mesin cuci, peralatan bersih-bersih), tren berfoto dan macam-macam kamera jadul Jepang juga diulas sedikit. Info sejarah ini diselipkan 2-3 lembar diantara kisah-kisah yang menggunakan latar belakang artefak bersejarah itu. 

Ah, komik ini membuatku senang, karna ia berbeda, ia memberi angin segar bagiku yang selama ini mengira komik Jepang selalu berandai-andai saja kisahnya, rupawan melulu, dan lebih sering digambarkan dengan dialog yang kaku..  

Ending yang ...begitulah, hidup..
Sesederhana apapun yang diceritakan, endingnya bisa membuatku terdiam dan...oh, begitu saja?
Ya, begitu saja mungkin. Kadang langit malam, kadang senyuman di musim gugur, anak-anak tertawa-tawa seperti biasa, burung beterbangan dan bercuitan, terdiam di sebuah trem, pemandangan sudut jalan, pemandangan senja, rumah-rumah berderetan dan pemandangan-pemandangan yang kadang tanpa teks, seperti melihat kesimpulan kosong, pikirlah sendiri, atau..sesuatu yang bisa kita isi dengan pengalaman dan pemahaman masing-masing sajalah... Seperti merasa bahwa komik ini sebenarnya sebuah film! Aneh, terasa nyata. Tak ada ending dengan ekspresi sedih atau penyesalan dari tokoh yang dibuat, kalaupun si tokoh sedih, digambarkan bahwa waktu akan terus berlalu, dan perubahan pastilah terjadi, tak kutemui raut wajah muram di akhir cerita. Syukurlah, masih ada harapan. Mungkin kata-kata itu yang ada dalam benak para tokoh yang mengalami kesialan, atau ketragisan hidup. 

Komik yang menarik, dan bisa menjadi inspirasi bagi orang dewasa, juga teladan dan pelajaran buat anak-anak. Tak ada sifat buruk, perubahan selalu terjadi..dan kebanyakan merupakan perubahan yang baik. Mungkin hidup, sesusah sebahagia apa..seperti tak ada apa-apa saja rasanya..tapi sekaligus, menjadi terisi dengan sesuatu yang..entahlah, seperti melihat pemandangan yang cepat berlalu saat duduk dalam perjalanan di bus atau kereta. 
salah satu ending (lembar kanan), senja di sudut jalan depan rumah Penjahit Mori



Komentar

  1. Pengen banget punya sampai chapter 5..tapi di kota ku nggak ada..:( Inilah komik yang paling membekas dihati,walaupun dibaca waktu aku kls 4 SD,sekarang sudah kls 2 SMA. aku cuma punya chapter 1...tapi udah hilang :'( . Rasanya kangeeeen banget sama ni komik,sumpah.

    BalasHapus
  2. Pengen banget punya sampai chapter 5..tapi di kota ku nggak ada..:( Inilah komik yang paling membekas dihati,walaupun dibaca waktu aku kls 4 SD,sekarang sudah kls 2 SMA. aku cuma punya chapter 1...tapi udah hilang :'( . Rasanya kangeeeen banget sama ni komik,sumpah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanks sudah menyimak, emang berkesan nih komik. Sepertinya sudah diterbitkan lagi oleh Gramedia, reccomended & collectable comics :)

      salam.

      Hapus

Posting Komentar