Kartini : Sebuah Persoalan Baca-Tulis


 

Pada suatu ketika di sebuah kantor surat kabar, saya mendengar celetukan salah satu karyawan tata letak kepada kawan di sampingnya saat sedang bertugas. Ia berbahasa Jawa, yang kurang lebih saya rangkum demikian:


Kartini itu cuma menulis saja sampai jadi pahlawan. Padahal banyak perempuan lain yang sampai angkat senjata, punya aksi nyata, bahkan bertaruh nyawa, tapi tidak diberi keistimewaan yang sama. Lagian dia itu nulis juga cuma surat sama buku harian.”


Saya karyawan baru disitu, agak keslomot sama kata-katanya, tapi tidak berani membela Kartini, lagipula sedang fokus pada tugas. Kawan yang diajaknya bicara seingat saya sama laki-lakinya, dan tidak banyak ambil pusing dengan pertanyaan itu. Saya mendidih tapi mencoba memahami uneg-unegnya, yang mungkin, juga mewakili pikiran terpendam banyak orang Indonesia. Saya bahkan mencoba menempatkan diri pada situasi saya dulu, sebelum benar-benar membaca buku Kumpulan Surat-Surat Kartini. Mungkin senaif itu pula pemahaman saya terhadap Kartini dulu, menokohkan beliau tanpa melacak kembali kiprahnya.


Tidak bisa disangkal bahwa peringatan hari lahir Kartini di negara kita banyak dijadikan selebrasi terhadap mode berbusana tradisional. Betapapun banyak yang mengkritik kebiasaan tersebut (kebanyakan lewat tulisan), selebrasi semacam itu tak pernah kehilangan massa. Mungkin tak selalu buruk, karena dengan demikian, minimal orang-orang selalu diingatkan bahwa, ada lho perempuan besar bernama Kartini dalam sejarah Indonesia. Lalu apakah ini membuktikan banyak pula yang tidak peduli dengan gagasan tertulis? Andai bisa lebih didalami lagi karyanya, rasa kagum terhadap selebrasi itu jadi memiliki makna. Tak sekedar hiburan semata.


Kalau memang Kartini dianggap membangkitkan semangat emansipasi perempuan dengan tulisannya, apakah kita benar-benar telah memverifikasi apa yang ditulisnya? Apakah ada kewajiban bagi para siswa untuk membaca tulisan beliau? Apakah ada kewajiban setiap pendidik untuk membuktikan kepiawaiannya menulis? Sampai-sampai, di sudut sebuah kantor surat kabar yang notabene mengagungkan kegiatan menulis, terucap uneg-uneg yang menyedihkan.


Ini celetukan penting untuk direnungkan. Setiap orang Indonesia, saya kira pernah mempertanyakan kualifikasi Kartini sebagai emansipator perempuan yang layak dihormati. Sayapun demikian, ketika berjarak dengan sejarah perjuangan kemerdekaan, semakin asing dan sepele saja rasanya bentuk perjuangan beliau. Namun, ketika kita berada pada tahap mempertanyakan hal tersebut, justru merupakan awal baik untuk diikuti dengan langkah praktis ini: membaca tulisannya, utuh! Dan tak kalah penting, baca setiap konteks yang menyelimuti kehidupannya.


Daya gerak yang dihasilkan dari sebuah tulisan, bukan main-main efeknya. Celetukan di atas, yang membandingkan ketimpangan sebuah perjuangan fisik dengan perjuangan mental, nampaknya tak terlalu menyadari bahwa menulis ialah kerja spiritual, bahwa didalamnya ada proses menyadari dialektika dan konflik mendasar kemanusiaan, yang jarang diminati banyak orang. Ia nampak membosankan, stagnan, dan tidak dinamis. Dinamika yang terjadi sangat internal, baru bisa dirasakan kualitasnya, ketika ia dibaca. Siapapun yang membacanya, akan tergerak. Daya gugah semacam itulah yang muncul saat membaca tulisan Kartini (yang mungkin tak terlalu diapresiasi oleh pribumi kala itu, sehingga pengakuan justru datang dari pihak kolonial). Kartini ialah anomali di masa seperti itu, baik bagi orang sebangsanya maupun pemerintah kolonial.


Terakhir saya melihat terbitan ulang Kumpulan Surat-Surat Kartini beberapa tahun lalu. Selain itu ada banyak tulisan mengenai pelacakan terhadap keutuhan surat maupun artikel yang dibuat Kartini. Tak benar-benar langka lagi mencari kumpulan tulisannya. Versi yang diterbitkan pertama kali, boleh jadi banyak diseleksi sesuai kebutuhan politis pemerintah kolonial (yang dianggap terlalu menonjolkan perasaan lemah, sedu sedan, dan semacamnya), namun kalau toh demikian, tulisannya tetap tersaji apik dan tak kehilangan daya kemanusiaannya. Sebagai peminat sastra, boleh jadi saya menganggap Kartini sedang mereportase pikiran, hati dan kehidupan di sekelilingnya, dengan jujur, indah sekaligus menohok, paling tidak itulah yang saya baca melalui versi terjemahan Sulastin Sutrisno, tahun 1981, penerbit Djambatan. Jika ingin lebih mendalam lagi, tulisan Kartini juga dijadikan objek penelitian oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, dan buku itu sangat membantu pemahaman kita akan konteks yang sedang dihadapi Kartini dalam setiap tulisannya (saya pernah mengulasnya sekilas di sini).


https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210421091043-279-632601/
intip-quote-inspiratif-kartini-untuk-penyemangat-hidup/1?zoom_foto

Kini kita lihat banyak bertebaran di media sosial, kutipan-kutipan apik yang dihasilkan dari penggalan surat-suratnya. Tentu sebuah hal yang baik pula, bahwa beliau semakin dikenal lewat pemikirannya, dan membuat orang terpancing untuk membaca tulisannya. Kalaupun masih ada pertanyaan seperti disebut di awal tulisan ini, baiknya kita pertanyakan lagi, sudahkah ia membaca? Bila tidak ada kemauan untuk membaca, sebaiknya perlu diperjelas lagi makna baca-tulis itu.
Bagi saya ia tidak hanya menggerakkan perempuan untuk lebih berdaya secara umum, namun juga secara khusus menambah nilai khasanah jurnalisme dan kesusastraan Indonesia. Siapapun yang membaca, ia bergerak dengan hati-hati, sekaligus sepenuh hati. Dan benar kata Pramoedya,

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.


Selamat Hari Kartini, selamat memaknai kembali aktivitas membaca dan menulis.





Komentar