BERZIARAH DARI DAPUR




 “Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.”

Selepas tengah malam, sy mencoba kembali membaca Ziarah di dapur. Udara malam yg melewati dapur membawa aroma harum tanah basah usai gerimis.

Setahun lalu setelah menyelesaikan buku ini, ingin sekali mengapresiasinya lewat tulisan atau gambar. Namun karna terlalu excited, apa yg saya tulis tentangnya terasa mentah. Sayapun menunda Ziarah, untuk lalu mengapresiasi karya tulis lain yg akhirnya sy unggah dengan tagar #bacalalugambar di instagram.

Baru dua hari lalu muncul dorongan yg begitu besar untuk tak menunda terlalu lama niatan itu. Tulisan Iwan Simatupang terlalu sayang untuk dilewatkan orang se-Indonesia Raya ­­­­‑‑meski sy pun baru membaca 2 bukunya. Siapa tahu sepercik review yg tak bermutu ini-pun bisa menggugah satu-dua jiwa yang sedang iseng-iseng membaca.

Novel lawas terbitan 1969 ini menawarkan cara bercerita yang nyentrik. Pada jamannya ia diakui sebagai pembaharu dalam kesusastraan, dan meski 40 tahun berlalu, karyanya pantas u/ terus diidolakan. Saya baru peroleh kesempatan membacanya tahun 2019, diterbitkan kembali oleh Noura Books tahun2017. Saya terlambat tahu 2 tahun sejak diterbitkan kembali, padahal sudah lama mengidamkan baca karya lain Iwan, setelah jatuh hati pada Kumcernya berjudul Tegak Lurus dengan Langit. Untuk seorang pengagum gaya nulis Budi Darma, saya beroleh dugaan bahwa BD mungkin pula mendapat inspirasi dari Iwan Simatupang, meski tetap memiliki ciri khas pembedanya masing-masing.

Dalam Ziarah, Iwan menyebut tokoh utamanya yang seorang mantan pelukis dengan sebutan “Tokoh Kita”, dan tokoh lainnya disebut berdasar  jabatan yang diemban (Opseter Muda, Walikota, Perdana Mentri, Mandor, dsb). Mereka terhubung satu sama lain karena perubahan mendadak yg dialami Tokoh Kita, dari yang semula dianggap mengalami gangguan jiwa karna kematian sang isteri, menjadi pribadi terkendali , nampak waras, normal. Melihat si mantan pelukis nampak waras, secara absurd seluruh penduduk malah mengalami apa yang disebut Squidward: Hari Kebalikan. Semua orang  terkena wabah linglung, abnormal, sedang Tokoh Kita justru merasa kembali normal.

“Dengan was-was mereka mengamati tingkahnya yang sudah tak aneh lagi itu. Seolah-olah ketidakanehan sendiri adalah keanehan!”

Gagasan absurd tersebut dikombinasikan Iwan dengan pendekatan yg teatrikal, serasa menyaksikan adegan teater yg didandani dengan atribut panggung yg artifisial, gelagat yg hiperbolis , lompatan peristiwa2 yg dijalin sureal, dialog yang menggelikan, dan renungan filosofis yang disana-sini dipertentangkan satu sama lain. Tokoh Kita dibenturkan pada pribadi yg ia sebut  “menghamburkan kecerdasan & kebudayaannya bagi silogisme-silogisme palsu demi sebutan: orisinal.  

Kegandrungan penulis untuk mengolok-olok ekses dari aliran filsafat modern, menjamurnya perilaku snob, dan sarkasmenya terhadap pola kerja tradisionil khas pamong praja, diberikan ruang lebih dari separo buku, untuk saling beradu. Separoh tersebut, sungguh hiburan bagi insan yang mau menertawakan dirinya sendiri, karna setiap peran didalamnya bisa jadi ialah representasi bagi ketidaksinkronan antara pengetahuan dan kesadaran manusia. Sisanya ialah renungan filosofis yg nampaknya lebih serius ditulis saat Tokoh Kita berefleksi dengan kematian,  dimana ketidaksinkronan menemukan peraduannya.

“....Setiap manusia hidup terikat pada manusia tertentu. Semiskinnya seorang manusia hidup, ia setidaknya pastilah ada memiliki satu atau lebih kerabat yang telah mati. Lembaga yang mengesahkan rasa puas pada pemikiran ini adalah : kuburan.”


Meski beraroma filsafat, menurut sy tanpa bekal mendalam tentang filsafat-pun, karyanya tetap bisa dinikmati. Dia mengundang siapa saja untuk menertawakan kemanusiaan, kehidupan, sekaligus belajar dari kematian, ziarah yang terus menerus.



“..Dia tak meninggalkan apa-apa, selain sejumput kesan-kesan tak beraturan pada sejumput orang lain tentang dia. Hanya itu.”

Komentar