Buku dan Kota di Antara Kita

Menjelang pukul tujuh jumat petang, titik-titik air berjatuhan di segala muka benda dan rupa. Semarang menjelang November mulai berangin, siang begitu terik dan menyambut malam awan mulai bergemeluduk berisik. Terkadang tanpa pertanda gemeluduk, air begitu saja tumpah, tanpa basabasi diguyurkannya simpanan uap sesiangan tadi. Mungkin hanya gemerisik daun yang menyampaikan pesan langit, namun kita terlalu sibuk memikirkan hal lain. Kerja, makan, hiburan, prestasi, tugas sekolah, kasih sayang…, pokoknya tak ada ruang kosong untuk mendengarkan gemerisik daun, meski ia berada cuma beberapa senti dari tempat berdiri. 


Malam itu, menerjang angin dan tetes yang menderas, akhirnya aku melaju ke pusat kota. Hujan sedikit mengurungkan langkahku menancap gas motor, ada tanya-tanya yang  menghasut niatan berangkat cepat-cepat. Mengapa hujan turun disaat yang kami tunggu-tunggu sepekan ini? Di jalanan berhujan, terlintas Mak Ireng, yang datang khusus membantu Ibu menyiapkan pengajian sementara aku ngelayap seharian ini. Ia sempat menemaniku meratapi hujan di balkon rumah kami sebelum aku memutuskan berangkat. Hujan katanya, pertanda orang harus legawa dengan segala urusan, diam, pasrah, kepalanya didinginkan, rak sah grusa-grusu. Mendengarnya nyeletuk begitu aku jadi makin gelisah, nek ngunu aku rak ndang mangkat, batinku. Tapi kata-katanya memang bukan berarti aku harus santai-santai, ia justru menghentikan kakiku yang sedari tadi mondarmandir sambil mengunyah kue bika pengganti makan malam. Ketika lantunan doa ibu-ibu pengajian mulai bergema, aku menerobos ruang sambil tertunduktunduk karena mengganggu pandangan. Setelahnya aku memutuskan segera berangkat, dengan kepala yang lumayan mendingin. Hujan pun memelan seiring sampainya aku di lokasi tujuan.



Hujan Bagian dari Pertunjukan

Jadi, Jumat malam itu aku harus menuju Jalan Pahlawan untuk membantu kawan-kawan Event organizer buku yang datang dari Jogja. Yang memberangkatkan niatku ialah karna perkara buku dan seni di ruang publik. Tak ada keterikatan untuk membantu atau tidak. Jalinan perkawanan pun terbentuk karena keduanya. Sebuah pameran buku akan diadakan di Semarang pada Rabu, 6 November 2013. Jumat malam itu, beberapa panitia datang untuk menyelenggarakan publikasi, yang dirancang dengan format performance art di ruang publik. Tidak ada persiapan khusus seperti tenda atau sekat-sekat atau penanda lainnya. Seperangkat sound system-lah yang menandai keberadaan kami. Itupun terbilang sederhana. Dengan hadirnya hujan menjelang dimulainya acara, aku sempat berpikir mungkinkah acara batal. Memang acara molor hampir sejam lebih, kami juga menunggu kawan panitia yang terjebak macet. Sambil menunggu kehadiran mereka dan seperangkat sound system, aku mengamati beberapa kawan komunitas yang sudah bersetia hadir tepat waktu.

Tanpa mengenali mereka satu-persatu, aku salut dengan kemauan mereka menyempatkan berangkat saat hujan baru saja melewati jalanan di Pahlawan. Aku tak terlibat dalam komunitas manapun di Semarang, pergerakan komunitas kecil, sedang, sampai besar, aku tak terlalu mengikuti kabarnya. Baru di dalam acara ini, aku jadi mulai mencari-mencari. Semarang yang kukira kering hiburan alternatif, ternyata memiliki cukup banyak komunitas seni. Hanya aku tak pernah terhubung langsung, sehingga sulit mencari performer yang sudi tampil ‘ndadakan’ di acara ini.

Benar-benar bersyukur, H minus 1 seorang kawan komunitas dikenalkan padaku, dan harapan bersemi. Mas Dadang dari Komunitas Orart-oret bersedia membantu menyebarluaskan info acara pada kawan-kawan komunitasnya dan komunitas lain. Permainan jejaring sosial berperan sekali, hanya sehari kabar berhembus dari satu dinding ke dinding lain. Malam itu kulihat beberapa kawan-kawan datang membawa buku sket, seperangkat alat gambar, duduk di emperan trotoar, menikmati lalulalang Jalan Pahlawan sambil ngobrol, mengamati objek untuk di sket, ngopi dan merokok, beberapa membaca buku yang didatangkan dari mobil perpustakaan kota, santai sembari menunggu jelasnya acara. Mungkin ada sedikit kecewa, sah saja. Dalam hatiku, hujan tak patut dibiang-keladikan. Meski tak nampak tanda-tanda hadirnya sebuah acara seni, justru ia membuka pertunjukan malam itu dengan natural dan apik. Ia seakan menguji solidaritas para perawat seni di kota ini. Setelahnya, langit tak melongsorkan setitik airpun. Hujan dengan demikian, benar-benar bagian dari pertunjukan.



Membaca buku koleksi mobil perpustakaan kota




Jalan Pahlawan untuk Hari Pahlawan

Karena pameran berlangsung melewati Hari Pahlawan, maka pameran buku di Semarang kali ini mengusung tema “Buku Amunisi Peradaban”. Amunisi terkesan sangar didengar, namun konteksnya tentu bukan diarahkan pada kekerasan. Katakanlah perjuangan masa kini tak lagi relevan menggunakan senjata tajam, keras, dan panas, seperti peluru, meriam, tombak, dll. Kepahlawanan tidak harus ditujukan lagi pada pengguna alat-alat seperti itu demi perasaan berkebangsaan, pun demi membela nasionalisme. Buku sebagai penghantar konsep, pemikiran dan renungan, adalah amunisi terkini yang diramu untuk mencerminkan peradaban manusia.

Pemilihan Jalan Pahlawan kebetulan saja bisa terhubung dengan definisi dari tema yang diajukan. Namun tidak mutlak diada-adakan demikian. Ruang publik ini memiliki magnet, selain daripada bundaran Simpang Lima, dan Tugu Muda (yang berada di pusat kota). Keinginan warga untuk berkumpul di pusat bisa jadi suatu dorongan tidak sadar untuk ‘menjadi bagian dari peradaban kota’. Peradaban kota yang katakanlah dengan bahasa kerennya ‘urban’ (padahal cuma merubah bahasa). Meski hanya nongkrong di jalanan pun, atau sepedaan di sekitarnya, makan soto kaki lima, yang penting inilah ‘pusat kota’, dekat dengan gedung-gedung megah yang menawarkan segala bentuk rupa simbol ‘manusia urban’.

Pusat terkesan mendominasi, arogan, terkadang menyebalkan. Hasil terbaik dari pembangunan bisa dicerminkan dari pusat kota. Namun, hal ini seharusnya bisa disikapi dan diambil peluang terbaiknya. Pusat kota nampak tertata dan terencana, trotoarnya megah, keamanan terpantau, warung kaki lima terhimpun rapi, anak-anak muda berseliweran saling pandang, komunitas-komunitas menandai eksistensinya, anggota keluarga mengasah kekeluargaannya, dsb.  Sebuah pertunjukan seni di ruang seperti ini tentunya menambah keberagaman apa yang bisa dilihat, diamati, atau dinikmati di sebuah jalanan umum di pusat kota. Sebuah publikasi tidak harus dilihat dari besarnya baliho, pemilihan titik yang strategis, banyaknya brosur, atau media-media konvensional lain. Memberi ruang dan waktu untuk berekspresi merupakan kesempatan yang diberikan  panitia sebagai pendamping media promosi konvensional. Penampakan seni di ruang publik seperti ini menjadi pendamping dari yang pop, menawarkan alternatif tontonan, yang didalamnya juga melibatkan penonton secara aktif.



HAPPENING !

Performance art yang dinamai “Happening Art: Surat Cinta untuk Buku” ini membuka apresiasi seluasnya, tanpa batasan keahlian, komunitas, atau label-label lainnya. Memang mengajak performer lokal dan bermacam komunitas di Semarang merupakan kendala awalnya, namun dalam praktik, justru menjadi tantangan bagi seluruh pihak untuk turut partisipasi tanpa harus membawa predikat ataupun label sebagai pelaku seni.

Pada acara ini juga, tidak sepenuhnya kita bisa menghadirkan tontonan teatrikal dengan elemen-elemen simbolik seperti laiknya teater konseptual, namun justru ketiadaan itulah yang menjadikan acara minim performer itu sendiri bagian dari teater. Bukankah keseharian manusia seringkali memanfaatkan keahlian ber-teater? Teater sesungguhnya ialah melihat bahasa tubuh dan mimik dan ekspresi seharihari. Maka disini semua pihak bisa menjadi bagian dari seni pertunjukan.



Felice, band pertama yang mengisi acara




Hari pertama, Jumat Malam, diawali dengan akustik sekelompok mahasiswa dari band Felice. Selanjutnya ada Mas Dadang memetik gitarnya sendiri, lalu diikuti pembacaan puisi oleh Mas Wahyu dari komunitasnya. Lalu musikalisasi puisi dari seorang mahasiswa (dia memetik gitar sambil berpuisi, nice performance, tapi kulupakan namanya!) Pertunjukan makin alami dengan hilir mudiknya penjaja kopi instan keliling dan pejalan kaki. Kukira sebagai ilustrasi musikalisasi puisi mereka pas juga. Sebagian penonton tetap menggambar, sebagian pengemudi motor henti sejenak, sebagian orang yang duduk jauh dari lokasi pertunjukan nampak melongokkan kepalanya menyimak puisi dan berhenti mengobrol.


Lalu ada seorang yang sibuk menata buku-buku sastra dan filsafat, ia mondar-mandir tak karuan dan menulis di carik-carik kertas sambil membagikan ke audiens tak tentu siapa. Namanya kalau tidak salah ingat Rofiq. Ternyata ia sedang berteater tanpa kita sadari. Memang sikapnya agak aneh, sewaktu ditanya malah sibuk dengan buku dan penanya. Menariknya, ia memperlihatkan tipisnya perbedaan gerak-gerik manusia sebagai aktor kehidupan dengan aktor pertunjukan. Padanya aku lupa memastikan apa judul karyanya.





Saat pertunjukan berlangsung, dua lelaki asik saling menorehkan cat putih ke muka dan memerahi bibirnya sampai ke pipi, kukira mereka pasti akan berpantomim. Mereka sukarela berpentas tanpa kita undang sebelumnya. Salah satu personilnya mengatakan ia dari Teater Esha, meski malam itu terlihat nampak sebagai bagian dari komunitas Orart-oret karena sebelumnya asik menggambar. Mereka mempertunjukkan kisah gelagat dua karib yang memperebutkan buku. Yang satu asik membacai bacaannya, sedang temannya nampak iri melihat kawannya asik dengan bacaannya dan berusaha merebut buku yang sedang dipegang. Pada pertunjukan mereka, kulihat pengemudi motor yang memutuskan henti sejenak bertambah. Mungkin karena make up mereka yang nampak memancing perhatian.

Aku dikerjai, diajukan terus menerus untuk ikut membaca puisi, padahal sungguh aku tak pernah membaca puisi kecuali untuk kepentingan tugas Bahasa Indonesia di SMP! Karena enggan berpuisi, selang waktu kosong diisi oleh Cak Udin yang dipilih Pak Koskow untuk memetik gitar dan mengiringinya membaca puisi. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka sms. Beberapa sms ia pilih untuk ia bacakan ‘sebagai puisi’. Judul pengirim sms dibacakan sebagai judul puisi. Nadanya biasa saja, datar, seperti mengajak ngobrol seharihari, namun penonton tersenyum-senyum mendengarkan sms remehtemeh dibacakan sebagai puisi. Cak Udin sesekali melantunkan lagu berlirik bahasa Jawa diantara puisi sms Pak Koskow. Setelahnya, aku baru berani mencoba membacakan puisi. Koran Bertamu yang memuat puisi Mas Okik Angkawijaya aku bacakan. Namun karena puisinya puanjang, aku putuskan orang lain harus turut berpuisi ketika kuserahkan microphone. Jadi kusebut saja puisi berantai. Jumat malam itu diakhiri dengan gitaran dari beberapa orang yang makin guyub dan asiksendiri sejak salah seorang bergitaran dengan lagu-lagu Iwan Fals. Jam 12 malam lebih, acara terpaksa dihentikan karena ijin keamanan sudah melampaui jam.


Pak Koskow membaca sms sebagai puisi diiringi Cak Udin



Puisi berantai



Ruang, Waktu dan Kesan

Malam kedua di tempat yang sama, acara dipersiapkan lebih nggenah oleh panitia. Instalasi resin buku yang sebelumnya memakan waktu untuk dirakit, sesegera mungkin dirakit dan ditempatkan searah dengan lalu lintas pejalan kaki. Resin bikinan Ndruwo Art Space dari Jogja menghadirkan kembali ‘pahlawan-pahlawan’ yang dikenang dan dikenal dari Semarang. Simbol pahlawan ini (Kaver buku Soegija, not balok Gundul-gundul Pacul, lukisan Raden Saleh, dll) dicetak kembali dalam selembar kertas dan diawetkan dalam resin. Resin di pampang di tepian trotoar dalam cagak-cagak kayu didampingi dua helai kain merah putih.





Personil perkusi dari Teater Kaplink Udinus


Lagu dan nuansa yang makin terbangun saat lampu jalan tiba-tiba padam


Malam Minggu lebih ramai daripada malam Sabtu, seliweran anak-anak memainkan otopet, sepeda, dan rollerblade tumpah ruah di trotoar Pahlawan. Pukul tujuh perwakilan dari Teater Kaplink dari Udinus menyempatkan datang dan membawa segerombolan anggotanya untuk bermain perkusi. Tidak hanya perkusi, ada pula gamelan dan pianika. Kemunculan mereka di awal acara cukup memancing perhatian publik. Daripada malam sebelumnya, pengendara motor tidak hanya sekedar henti sejenak, sebagian malah kulihat mengikuti acara hingga usai. Anak-anak yang sebelumnya cuek berseliweran tanpa ampun, diam terperangah sejenak menyimak perkusi tersebut. Melihat ekspresi penonton menjadi sebuah pertunjukan khusus untukku.

Selanjutnya Mas Setiawan dan kawannya dari Komunitas Gitar Klasik Semarang turut berpartisipasi dengan memetikkan beberapa lagu pilihan sendiri dan request dari penonton. Pada lagu entah keberapa, lampu trotoar di sekitar kami padam. Namun ia tetap melenggangkan petikannya dengan tenang. Kaget sebentar, namun sejenak saja aku dan beberapa kawan, justru lebih menyukai suasana tersebut. Hanya lampu dari Gedung Telkom yang sedang dibangun yang menerangi tempat pertunjukan bernaung.

Rasa-rasanya ketika kulihat sekeliling, para pengendara motor yang datang sendirian dan menonton di jok masing-masing seperti makin terhanyut dalam pikirannya yang entah kemana, tak sadar kalau sedang diamati. Seorang pemuda pengamen jalanan terlihat mematung dan membawa gitar ukulele, langsung dihampiri Cak Udin agar turut berpartisipasi. Teman-temannya meminta imbalan yang jauh lebih besar dari yang hendak diberi, lalu pemuda itu menolak permintaan kami dan berlalu.

Karena diberi ruang dan tempat untuk berekspresi sesukanya, para penonton cukup antusias mengajukan diri untuk bernyanyi, bergitaran, atau membaca puisi. Sekelompok pemudi yang menonton didekat kami, yang sebagian berasal dari Maluku, pun akhirnya ikut berpartisipasi setelah mengobrol dengan Cak Udin. Meski setelahnya mereka bilang penampilan mereka memalukan, tapi kukira mereka tak akan lupa dengan kenekatan mereka disana. Datang, duduk, dan menyanyi di jalanan umum. Mungkin hari itu jadi berkesan karena melakukan hal diluar dugaan. Dan mungkin itu perasaan yang sama denganku ketika aku akhirnya ‘terpaksa’ baca puisi malam sebelumnya, juga bisa jadi semua performer dadakan dua malam itu juga merasakan demikian. Melakukan hal yang diluar dugaan, bener-bener happening!

                                   

Mahasiswi Maluku ikut berpartisipasi bernyanyi bersama



Langit Menutup Acara

Pertunjukan (yang tidak sengaja) menjadi yang terakhir dibawakan oleh seorang pemuda yang bernyanyi dengan vokal melayu, lagunya lagu cinta dan mendayu-dayu. Angin semilir mengikuti alunan lagu, dan setetes dua tetes air jatuh pelan-pelan. Kuharap langit bisa menunda tangisnya, namun tak seberapa lama setelah pemuda itu selesai dengan lagunya, tetesan air makin cepat. Penonton berhamburan, dan panitia segera menutup acara. Pukul setengah sebelas acara terpaksa diakhiri. Heran juga, hujan di awal dan hujan di akhir, ia membuat kita tak siap memulai dan mengakhiri. Maka seandainya jalanan ini panggung megah, pertunjukan diusaikan dengan titik-titik air sebagai tirainya. Jalanan kembali lengang, tinggal suara lepas landas air hujan merangkai kesan sabtu malam.


***

nb:
1. Foto-foto diambil oleh Mas Dadang Pribadi dari Komunitas ORaRT-ORET, selengkapnya bisa dilihat disini
2. Foto mahasiswi Maluku dijepret oleh Ratna
3. Tulisan lain mengenai acara ini bisa ditilik di halaman Pak Koskow

Komentar

Posting Komentar