Menjelang pukul tujuh jumat petang, titik-titik air
berjatuhan di segala muka benda dan rupa. Semarang menjelang November mulai
berangin, siang begitu terik dan menyambut malam awan mulai bergemeluduk
berisik. Terkadang tanpa pertanda gemeluduk, air begitu saja tumpah, tanpa
basabasi diguyurkannya simpanan uap sesiangan tadi. Mungkin hanya gemerisik
daun yang menyampaikan pesan langit, namun kita terlalu sibuk memikirkan hal
lain. Kerja, makan, hiburan, prestasi, tugas sekolah, kasih sayang…, pokoknya
tak ada ruang kosong untuk mendengarkan gemerisik daun, meski ia berada cuma
beberapa senti dari tempat berdiri.
Lalu ada seorang yang sibuk menata buku-buku sastra dan filsafat, ia mondar-mandir tak karuan dan menulis di carik-carik kertas sambil membagikan ke audiens tak tentu siapa. Namanya kalau tidak salah ingat Rofiq. Ternyata ia sedang berteater tanpa kita sadari. Memang sikapnya agak aneh, sewaktu ditanya malah sibuk dengan buku dan penanya. Menariknya, ia memperlihatkan tipisnya perbedaan gerak-gerik manusia sebagai aktor kehidupan dengan aktor pertunjukan. Padanya aku lupa memastikan apa judul karyanya.
Saat pertunjukan berlangsung, dua lelaki asik saling menorehkan cat putih ke muka dan memerahi bibirnya sampai ke pipi, kukira mereka pasti akan berpantomim. Mereka sukarela berpentas tanpa kita undang sebelumnya. Salah satu personilnya mengatakan ia dari Teater Esha, meski malam itu terlihat nampak sebagai bagian dari komunitas Orart-oret karena sebelumnya asik menggambar. Mereka mempertunjukkan kisah gelagat dua karib yang memperebutkan buku. Yang satu asik membacai bacaannya, sedang temannya nampak iri melihat kawannya asik dengan bacaannya dan berusaha merebut buku yang sedang dipegang. Pada pertunjukan mereka, kulihat pengemudi motor yang memutuskan henti sejenak bertambah. Mungkin karena make up mereka yang nampak memancing perhatian.
Aku dikerjai, diajukan terus menerus untuk ikut membaca puisi, padahal sungguh aku tak pernah membaca puisi kecuali untuk kepentingan tugas Bahasa Indonesia di SMP! Karena enggan berpuisi, selang waktu kosong diisi oleh Cak Udin yang dipilih Pak Koskow untuk memetik gitar dan mengiringinya membaca puisi. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka sms. Beberapa sms ia pilih untuk ia bacakan ‘sebagai puisi’. Judul pengirim sms dibacakan sebagai judul puisi. Nadanya biasa saja, datar, seperti mengajak ngobrol seharihari, namun penonton tersenyum-senyum mendengarkan sms remehtemeh dibacakan sebagai puisi. Cak Udin sesekali melantunkan lagu berlirik bahasa Jawa diantara puisi sms Pak Koskow. Setelahnya, aku baru berani mencoba membacakan puisi. Koran Bertamu yang memuat puisi Mas Okik Angkawijaya aku bacakan. Namun karena puisinya puanjang, aku putuskan orang lain harus turut berpuisi ketika kuserahkan microphone. Jadi kusebut saja puisi berantai. Jumat malam itu diakhiri dengan gitaran dari beberapa orang yang makin guyub dan asiksendiri sejak salah seorang bergitaran dengan lagu-lagu Iwan Fals. Jam 12 malam lebih, acara terpaksa dihentikan karena ijin keamanan sudah melampaui jam.
***
nb:
1. Foto-foto diambil oleh Mas Dadang Pribadi dari Komunitas ORaRT-ORET, selengkapnya bisa dilihat disini
2. Foto mahasiswi Maluku dijepret oleh Ratna
3. Tulisan lain mengenai acara ini bisa ditilik di halaman Pak Koskow
Malam itu, menerjang angin dan tetes yang menderas, akhirnya
aku melaju ke pusat kota. Hujan sedikit mengurungkan langkahku menancap gas
motor, ada tanya-tanya yang menghasut
niatan berangkat cepat-cepat. Mengapa hujan turun disaat yang kami
tunggu-tunggu sepekan ini? Di jalanan berhujan, terlintas Mak Ireng, yang
datang khusus membantu Ibu menyiapkan pengajian sementara aku ngelayap seharian ini. Ia sempat
menemaniku meratapi hujan di balkon rumah kami sebelum aku memutuskan
berangkat. Hujan katanya, pertanda orang harus legawa dengan segala urusan,
diam, pasrah, kepalanya didinginkan, rak
sah grusa-grusu. Mendengarnya nyeletuk begitu aku jadi makin gelisah, nek ngunu aku rak ndang mangkat,
batinku. Tapi kata-katanya memang bukan berarti aku harus santai-santai, ia
justru menghentikan kakiku yang sedari tadi mondarmandir sambil mengunyah kue
bika pengganti makan malam. Ketika lantunan doa ibu-ibu pengajian mulai
bergema, aku menerobos ruang sambil tertunduktunduk karena mengganggu pandangan.
Setelahnya aku memutuskan segera berangkat, dengan kepala yang lumayan
mendingin. Hujan pun memelan seiring sampainya aku di lokasi tujuan.
Hujan Bagian
dari Pertunjukan
Jadi, Jumat malam itu aku harus menuju Jalan Pahlawan
untuk membantu kawan-kawan Event
organizer buku yang datang dari Jogja. Yang memberangkatkan niatku ialah
karna perkara buku dan seni di ruang publik. Tak ada keterikatan untuk membantu
atau tidak. Jalinan perkawanan pun terbentuk karena keduanya. Sebuah pameran
buku akan diadakan di Semarang pada Rabu, 6 November 2013. Jumat malam itu,
beberapa panitia datang untuk menyelenggarakan publikasi, yang dirancang dengan
format performance art di ruang
publik. Tidak ada persiapan khusus seperti tenda atau sekat-sekat atau penanda
lainnya. Seperangkat sound system-lah
yang menandai keberadaan kami. Itupun terbilang sederhana. Dengan hadirnya
hujan menjelang dimulainya acara, aku sempat berpikir mungkinkah acara batal.
Memang acara molor hampir sejam lebih, kami juga menunggu kawan panitia yang
terjebak macet. Sambil menunggu kehadiran mereka dan seperangkat sound system, aku mengamati beberapa
kawan komunitas yang sudah bersetia hadir tepat waktu.
Tanpa mengenali mereka satu-persatu, aku salut dengan
kemauan mereka menyempatkan berangkat saat hujan baru saja melewati jalanan di
Pahlawan. Aku tak terlibat dalam komunitas manapun di Semarang, pergerakan
komunitas kecil, sedang, sampai besar, aku tak terlalu mengikuti kabarnya. Baru
di dalam acara ini, aku jadi mulai mencari-mencari. Semarang yang kukira kering
hiburan alternatif, ternyata memiliki cukup banyak komunitas seni. Hanya aku
tak pernah terhubung langsung, sehingga sulit mencari performer yang sudi tampil ‘ndadakan’ di acara ini.
Benar-benar bersyukur, H minus 1 seorang kawan
komunitas dikenalkan padaku, dan harapan bersemi. Mas Dadang dari Komunitas
Orart-oret bersedia membantu menyebarluaskan info acara pada kawan-kawan komunitasnya
dan komunitas lain. Permainan jejaring sosial berperan sekali, hanya sehari
kabar berhembus dari satu dinding ke dinding lain. Malam itu kulihat beberapa
kawan-kawan datang membawa buku sket, seperangkat alat gambar, duduk di emperan
trotoar, menikmati lalulalang Jalan Pahlawan sambil ngobrol, mengamati objek
untuk di sket, ngopi dan merokok, beberapa membaca buku yang didatangkan dari
mobil perpustakaan kota, santai sembari menunggu jelasnya acara. Mungkin ada
sedikit kecewa, sah saja. Dalam hatiku, hujan tak patut dibiang-keladikan.
Meski tak nampak tanda-tanda hadirnya sebuah acara seni, justru ia membuka
pertunjukan malam itu dengan natural dan apik. Ia seakan menguji solidaritas
para perawat seni di kota ini. Setelahnya, langit tak melongsorkan setitik
airpun. Hujan dengan demikian, benar-benar bagian dari pertunjukan.
Membaca buku koleksi mobil perpustakaan kota |
Jalan
Pahlawan untuk Hari Pahlawan
Karena pameran berlangsung melewati Hari Pahlawan,
maka pameran buku di Semarang kali ini mengusung tema “Buku Amunisi Peradaban”.
Amunisi terkesan sangar didengar, namun konteksnya tentu bukan diarahkan pada
kekerasan. Katakanlah perjuangan masa kini tak lagi relevan menggunakan senjata
tajam, keras, dan panas, seperti peluru, meriam, tombak, dll. Kepahlawanan
tidak harus ditujukan lagi pada pengguna alat-alat seperti itu demi perasaan
berkebangsaan, pun demi membela nasionalisme. Buku sebagai penghantar konsep,
pemikiran dan renungan, adalah amunisi terkini yang diramu untuk mencerminkan
peradaban manusia.
Pemilihan Jalan Pahlawan kebetulan saja bisa terhubung
dengan definisi dari tema yang diajukan. Namun tidak mutlak diada-adakan
demikian. Ruang publik ini memiliki magnet, selain daripada bundaran Simpang
Lima, dan Tugu Muda (yang berada di pusat kota). Keinginan warga untuk
berkumpul di pusat bisa jadi suatu dorongan tidak sadar untuk ‘menjadi bagian
dari peradaban kota’. Peradaban kota yang katakanlah dengan bahasa kerennya ‘urban’
(padahal cuma merubah bahasa). Meski hanya nongkrong di jalanan pun, atau
sepedaan di sekitarnya, makan soto kaki lima, yang penting inilah ‘pusat kota’,
dekat dengan gedung-gedung megah yang menawarkan segala bentuk rupa simbol ‘manusia
urban’.
Pusat terkesan mendominasi, arogan, terkadang
menyebalkan. Hasil terbaik dari pembangunan bisa dicerminkan dari pusat kota.
Namun, hal ini seharusnya bisa disikapi dan diambil peluang terbaiknya. Pusat
kota nampak tertata dan terencana, trotoarnya megah, keamanan terpantau, warung
kaki lima terhimpun rapi, anak-anak muda berseliweran saling pandang, komunitas-komunitas
menandai eksistensinya, anggota keluarga mengasah kekeluargaannya, dsb. Sebuah pertunjukan seni di ruang seperti ini
tentunya menambah keberagaman apa yang bisa dilihat, diamati, atau dinikmati di
sebuah jalanan umum di pusat kota. Sebuah publikasi tidak harus dilihat dari
besarnya baliho, pemilihan titik yang strategis, banyaknya brosur, atau
media-media konvensional lain. Memberi ruang dan waktu untuk berekspresi
merupakan kesempatan yang diberikan panitia
sebagai pendamping media promosi konvensional. Penampakan seni di ruang publik
seperti ini menjadi pendamping dari yang pop, menawarkan alternatif tontonan, yang
didalamnya juga melibatkan penonton secara aktif.
HAPPENING !
Performance
art yang dinamai “Happening Art:
Surat Cinta untuk Buku” ini membuka apresiasi seluasnya, tanpa batasan
keahlian, komunitas, atau label-label lainnya. Memang mengajak performer lokal dan bermacam komunitas
di Semarang merupakan kendala awalnya, namun dalam praktik, justru menjadi
tantangan bagi seluruh pihak untuk turut partisipasi tanpa harus membawa
predikat ataupun label sebagai pelaku seni.
Pada acara ini juga, tidak sepenuhnya kita bisa menghadirkan
tontonan teatrikal dengan elemen-elemen simbolik seperti laiknya teater konseptual,
namun justru ketiadaan itulah yang menjadikan acara minim performer itu sendiri
bagian dari teater. Bukankah keseharian manusia seringkali memanfaatkan
keahlian ber-teater? Teater sesungguhnya ialah melihat bahasa tubuh dan mimik
dan ekspresi seharihari. Maka disini semua pihak bisa menjadi bagian dari seni
pertunjukan.
Felice, band pertama yang mengisi acara |
Hari pertama, Jumat Malam, diawali dengan akustik sekelompok
mahasiswa dari band Felice. Selanjutnya ada Mas Dadang memetik gitarnya sendiri,
lalu diikuti pembacaan puisi oleh Mas Wahyu dari komunitasnya. Lalu
musikalisasi puisi dari seorang mahasiswa (dia memetik gitar sambil berpuisi, nice performance, tapi kulupakan
namanya!) Pertunjukan makin alami dengan hilir mudiknya penjaja kopi instan
keliling dan pejalan kaki. Kukira sebagai ilustrasi musikalisasi puisi mereka
pas juga. Sebagian penonton tetap menggambar, sebagian pengemudi motor henti
sejenak, sebagian orang yang duduk jauh dari lokasi pertunjukan nampak
melongokkan kepalanya menyimak puisi dan berhenti mengobrol.
Lalu ada seorang yang sibuk menata buku-buku sastra dan filsafat, ia mondar-mandir tak karuan dan menulis di carik-carik kertas sambil membagikan ke audiens tak tentu siapa. Namanya kalau tidak salah ingat Rofiq. Ternyata ia sedang berteater tanpa kita sadari. Memang sikapnya agak aneh, sewaktu ditanya malah sibuk dengan buku dan penanya. Menariknya, ia memperlihatkan tipisnya perbedaan gerak-gerik manusia sebagai aktor kehidupan dengan aktor pertunjukan. Padanya aku lupa memastikan apa judul karyanya.
Saat pertunjukan berlangsung, dua lelaki asik saling menorehkan cat putih ke muka dan memerahi bibirnya sampai ke pipi, kukira mereka pasti akan berpantomim. Mereka sukarela berpentas tanpa kita undang sebelumnya. Salah satu personilnya mengatakan ia dari Teater Esha, meski malam itu terlihat nampak sebagai bagian dari komunitas Orart-oret karena sebelumnya asik menggambar. Mereka mempertunjukkan kisah gelagat dua karib yang memperebutkan buku. Yang satu asik membacai bacaannya, sedang temannya nampak iri melihat kawannya asik dengan bacaannya dan berusaha merebut buku yang sedang dipegang. Pada pertunjukan mereka, kulihat pengemudi motor yang memutuskan henti sejenak bertambah. Mungkin karena make up mereka yang nampak memancing perhatian.
Aku dikerjai, diajukan terus menerus untuk ikut membaca puisi, padahal sungguh aku tak pernah membaca puisi kecuali untuk kepentingan tugas Bahasa Indonesia di SMP! Karena enggan berpuisi, selang waktu kosong diisi oleh Cak Udin yang dipilih Pak Koskow untuk memetik gitar dan mengiringinya membaca puisi. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka sms. Beberapa sms ia pilih untuk ia bacakan ‘sebagai puisi’. Judul pengirim sms dibacakan sebagai judul puisi. Nadanya biasa saja, datar, seperti mengajak ngobrol seharihari, namun penonton tersenyum-senyum mendengarkan sms remehtemeh dibacakan sebagai puisi. Cak Udin sesekali melantunkan lagu berlirik bahasa Jawa diantara puisi sms Pak Koskow. Setelahnya, aku baru berani mencoba membacakan puisi. Koran Bertamu yang memuat puisi Mas Okik Angkawijaya aku bacakan. Namun karena puisinya puanjang, aku putuskan orang lain harus turut berpuisi ketika kuserahkan microphone. Jadi kusebut saja puisi berantai. Jumat malam itu diakhiri dengan gitaran dari beberapa orang yang makin guyub dan asiksendiri sejak salah seorang bergitaran dengan lagu-lagu Iwan Fals. Jam 12 malam lebih, acara terpaksa dihentikan karena ijin keamanan sudah melampaui jam.
Ruang, Waktu
dan Kesan
Malam kedua di tempat yang sama, acara dipersiapkan
lebih nggenah oleh panitia. Instalasi
resin buku yang sebelumnya memakan waktu untuk dirakit, sesegera mungkin
dirakit dan ditempatkan searah dengan lalu lintas pejalan kaki. Resin bikinan Ndruwo
Art Space dari Jogja menghadirkan kembali ‘pahlawan-pahlawan’ yang dikenang dan
dikenal dari Semarang. Simbol pahlawan ini (Kaver buku Soegija, not
balok Gundul-gundul Pacul, lukisan Raden Saleh, dll) dicetak kembali dalam
selembar kertas dan diawetkan dalam resin. Resin di pampang di tepian trotoar
dalam cagak-cagak kayu didampingi dua helai kain merah putih.
Personil perkusi dari Teater Kaplink Udinus |
Lagu dan nuansa yang makin terbangun saat lampu jalan tiba-tiba padam |
Malam Minggu lebih ramai daripada malam Sabtu, seliweran
anak-anak memainkan otopet, sepeda, dan rollerblade tumpah ruah di trotoar Pahlawan. Pukul tujuh perwakilan dari Teater Kaplink
dari Udinus menyempatkan datang dan membawa segerombolan anggotanya untuk
bermain perkusi. Tidak hanya perkusi, ada pula gamelan dan pianika. Kemunculan mereka
di awal acara cukup memancing perhatian publik. Daripada malam sebelumnya,
pengendara motor tidak hanya sekedar henti sejenak, sebagian malah kulihat mengikuti
acara hingga usai. Anak-anak yang sebelumnya cuek berseliweran tanpa ampun,
diam terperangah sejenak menyimak perkusi tersebut. Melihat ekspresi penonton
menjadi sebuah pertunjukan khusus untukku.
Selanjutnya Mas Setiawan dan kawannya dari Komunitas
Gitar Klasik Semarang turut berpartisipasi dengan memetikkan beberapa lagu
pilihan sendiri dan request dari
penonton. Pada lagu entah keberapa, lampu trotoar di sekitar kami padam. Namun
ia tetap melenggangkan petikannya dengan tenang. Kaget sebentar, namun sejenak
saja aku dan beberapa kawan, justru lebih menyukai suasana tersebut. Hanya
lampu dari Gedung Telkom yang sedang dibangun yang menerangi tempat pertunjukan
bernaung.
Rasa-rasanya ketika kulihat sekeliling, para
pengendara motor yang datang sendirian dan menonton di jok masing-masing
seperti makin terhanyut dalam pikirannya yang entah kemana, tak sadar kalau
sedang diamati. Seorang pemuda pengamen jalanan terlihat mematung dan membawa gitar
ukulele, langsung dihampiri Cak Udin agar turut berpartisipasi. Teman-temannya
meminta imbalan yang jauh lebih besar dari yang hendak diberi, lalu pemuda itu
menolak permintaan kami dan berlalu.
Karena diberi ruang dan tempat untuk berekspresi
sesukanya, para penonton cukup antusias mengajukan diri untuk bernyanyi,
bergitaran, atau membaca puisi. Sekelompok pemudi yang menonton didekat kami,
yang sebagian berasal dari Maluku, pun akhirnya ikut berpartisipasi setelah
mengobrol dengan Cak Udin. Meski setelahnya mereka bilang penampilan mereka
memalukan, tapi kukira mereka tak akan lupa dengan kenekatan mereka disana.
Datang, duduk, dan menyanyi di jalanan umum. Mungkin hari itu jadi berkesan
karena melakukan hal diluar dugaan. Dan mungkin itu perasaan yang sama denganku
ketika aku akhirnya ‘terpaksa’ baca puisi malam sebelumnya, juga bisa jadi semua
performer dadakan dua malam itu juga
merasakan demikian. Melakukan hal yang diluar dugaan, bener-bener happening!
Mahasiswi Maluku ikut berpartisipasi bernyanyi bersama |
Langit
Menutup Acara
Pertunjukan (yang tidak sengaja) menjadi yang terakhir
dibawakan oleh seorang pemuda yang bernyanyi dengan vokal melayu, lagunya lagu
cinta dan mendayu-dayu. Angin semilir mengikuti alunan lagu, dan setetes dua
tetes air jatuh pelan-pelan. Kuharap langit bisa menunda tangisnya, namun tak
seberapa lama setelah pemuda itu selesai dengan lagunya, tetesan air makin
cepat. Penonton berhamburan, dan panitia segera menutup acara. Pukul setengah
sebelas acara terpaksa diakhiri. Heran juga, hujan di awal dan hujan di akhir,
ia membuat kita tak siap memulai dan mengakhiri. Maka seandainya jalanan ini panggung
megah, pertunjukan diusaikan dengan titik-titik air sebagai tirainya. Jalanan
kembali lengang, tinggal suara lepas landas air hujan merangkai kesan sabtu
malam.
nb:
1. Foto-foto diambil oleh Mas Dadang Pribadi dari Komunitas ORaRT-ORET, selengkapnya bisa dilihat disini
2. Foto mahasiswi Maluku dijepret oleh Ratna
3. Tulisan lain mengenai acara ini bisa ditilik di halaman Pak Koskow
top banget :)
BalasHapusterimakasih..ini mas luluk ya? saya list blog sampeyan ya disini;)
Hapusmonggo silahkan mbak :)
Hapus