19-21




"Suddenly…, I'm not half the man I used to be, 
There's a shadow hanging over me,
Oh, yesterday came suddenly.”
--Yesterday, The Beatles
 

Pagi ini, pukul setengah sembilan, kuusaikan Norwegian Wood.

Yang aku ingat dari buku ini ialah pada suatu ketika di usiaku yang 19 tahun, aku berada di sebuah toko buku Gunung Agung, sendirian memilih buku bacaan yang akan kubawa ke Jogja. Banyak buku dengan sampul yang menarik. Sampul bagus dengan judul terbaik yang bisa kutemukan ialah ukuranku memilih buku saat itu. Aku tak banyak tahu penulis yang handal atau romantis. Yang kupikirkan hanya aku ingin membaca novel. Aku ingat aku berada diantara dua pilihan antara buku berjudul Ca Bau Kan dengan Norwegian Wood. Antara Remy Silado atau Haruki Murakami.

Sampul Norwegian Wood sangat unik, seperti bendera Jepang, namun berjudul ‘Norwegian’, dan judulnya diputar 90 derajat. Komposisi yang menyeret mataku untuk memilihnya. Meski aku menyadari, selera visualku adalah komposisi yang manis, lembut, cerah, sedikit kekanakan, agak keperempuanan. Ia bukan sama sekali seleraku ketika itu.

Judul Ca Bau Kan merayuku, karna aku punya memori yang aneh dengannya. Di usiaku yang ke 17, aku memacari seorang mahasiswa tingkat akhir, dan mentraktirnya nonton Ca Bau Kan. Mungkin baru 2 minggu kita saling memacari. Kutraktir ia nonton, bersama kawanku yang juga membawa kekasihnya. Jadi kita double date, begitu. Namun, demi kesenangan masing-masing, kawanku memilih duduk berjauhan dengan kami. Alhasil kita bak kawan yang bersua tak sengaja di sebuah bioskop, bercakap sebentar dan berpisah di jalan. Aneh juga kalo diingat lagi. Tapi toh aku tak terlalu memikirkannya, aku sibuk meresapi rasanya jalan berdua dengan seorang lelaki yang nekat kupacari tanpa kenal asalusulnya. Tidak ada film yang kami kira bagus saat itu, acak saja aku pilih Ca Bau Kan. Lalu didalam bioskop, kami paling belakang disudut, penonton sedikit sekali, dan sedikit banyak mencuri cium, namun telinga dan mataku masih terbagi dengan jalan cerita. Jadi Ca Bau Kan didalam memoriku, ialah kisah tragis, melankolis, dan aneh. Aku mengingat tembakan, suasana monokromatik, teras rumah, dan gairah. Aneh, didalamnya ada kami berdua seperti masuk dan membumbui cerita, dan kelak setelah memutuskan mahasiswa itu sebulan kemudian, aku muak mengingat alur film itu. Aku merasa menjadi pemain film biru amatir yang dikibuli sutradara.

Tapi itu berarti selang dua tahun kemudian ketika aku berada diantara dua pilihan, Ca Bau Kan atau Norwegian Wood. Lalu sesuatu yang lain, mencuri pandangan dan kuabaikan kedua pilihan yang sulit itu. Aku membeli novel yang tampaknya bisa menginspirasi sisi religiusku. Pada umur itu, aku adalah bagian dari kelompok mahasiswa muslim. Masa yang begitu polos jika diingat diusiaku menuliskan ini. Namun, meski menyadari aku sedang giat berkumpul dengan kelompok mahasiswa relijius itu, toh aku bisa merasai mana tulisan yang menarik dan tidak. Baru satu bab kubaca novel itu, lalu kuabaikan ia. Sebenarnya aku kecewa sekali dengan pilihanku, tapi aku menutupinya. Sejujurnya kurasakan bahwa caranya bertutur sangat payah. Atau mungkin aku yang payah, tak mampu meloncat terlalu tinggi.

Jadi itulah perkenalanku yang tertunda dengan Norwegian Wood. Meski ayahku menyukai Beatles dan menulariku, tapi aku tak tahu ada lagu berjudul itu. Aku hanya tahu sedikit lagu, dan itupun yang populer. Aku melupakan Norwegian Wood, siapa penulisnya pun tak ingat. Tapi sampulnya, aku ingat betul.

Tertundanya Norwegian Wood mungkin baik juga untukku. Kalaupun aku membacanya di usia relijiusku itu, aku mungkin tak banyak dihanyutkan Murakami. Baru setelah meluluskan diri tidak tepat waktu, seorang dosen menyarankanku membaca Norwegian Wood. Ya, tentu saja aku akan membacanya, pikirku, itulah yang kupikirkan sejak pertama melihatnya. Tapi aku tak mau berusaha, bacaan itu akan datang dengan sendirinya.

Kini, aku curiga dengan pilihan buku yang ia rekomendasikan (setelah beberapa tahun, baru aku dipertemukan dengan buku ini tanpa kuusahakan). Ia pernah menyuruhku membaca Kitchen karya Banana Yoshimoto, dan pada proses mengusaikannya, aku merasa ia memberi cermin untuk masa laluku. Begitupun dengan Norwegian Wood. Inipun sedikit banyak menyerempet ke masa-masaku melewati 19-21. Membaca Norwegian Wood, aku jadi merasa memiliki kawan, yang mengabadikan usia itu. Sebenarnya ada lagi, Ayu Utami dalam Eks Parasit Lajang-pun demikian. Sepertinya mata baru setengah terbuka di usia itu, sebelumnya, mungkin aku zombie yang meraba-raba segala bentuk rupa. Tirai panggung baru tertiup angin dan nampaklah sedikit-sedikit cermin ke-diri-an. Itupun masih sedikitsedikit. Sebenarnya bisa juga itu tak berarti apa-apa, kinipun aku masih saja meraba-raba.

Mungkin saat melewati usia itu, aku dipojokkan untuk menuliskannya. Tapi semua memang begitu jelas dan detil, hingga sukar kutuliskan. Aku harus ‘turun gunung’ dan menjauhinya, berjarak dengan waktu…dan menjadikannya semakin kabur apa yang ingin diingat dan tidak. Bertahun-tahun kemudian aku seolah dipermainkan kata-kata, tak tahu apa guna kata-kata tapi selalu berharap padanya. 

“…kukira, bahwa yang bisa dituangkan ke dalam wadah yang tidak sempurna, yang disebut kalimat, hanyalah ingatan dan kenangan yang tidak sempurna. Dan semakin memudarnya kenangan terhadap Naoko di benakku, kukira aku bisa memahaminya lebih dalam lagi”

Komentar