"Suddenly…, I'm not half the man I used to be,
There's a shadow hanging over me,
Oh, yesterday came suddenly.”
--Yesterday, The
Beatles
Pagi ini, pukul setengah sembilan, kuusaikan Norwegian
Wood.
Yang aku ingat dari buku ini ialah pada suatu ketika
di usiaku yang 19 tahun, aku berada di sebuah toko buku Gunung Agung, sendirian
memilih buku bacaan yang akan kubawa ke Jogja. Banyak buku dengan sampul yang
menarik. Sampul bagus dengan judul terbaik yang bisa kutemukan ialah ukuranku
memilih buku saat itu. Aku tak banyak tahu penulis yang handal atau romantis.
Yang kupikirkan hanya aku ingin membaca novel. Aku ingat aku berada diantara
dua pilihan antara buku berjudul Ca Bau Kan dengan Norwegian Wood. Antara Remy
Silado atau Haruki Murakami.
Sampul Norwegian Wood sangat unik, seperti bendera
Jepang, namun berjudul ‘Norwegian’, dan judulnya diputar 90 derajat. Komposisi
yang menyeret mataku untuk memilihnya. Meski aku menyadari, selera visualku
adalah komposisi yang manis, lembut, cerah, sedikit kekanakan, agak
keperempuanan. Ia bukan sama sekali seleraku ketika itu.
Judul Ca Bau Kan merayuku, karna aku punya memori yang
aneh dengannya. Di usiaku yang ke 17, aku memacari seorang mahasiswa tingkat
akhir, dan mentraktirnya nonton Ca Bau Kan. Mungkin baru 2 minggu kita saling
memacari. Kutraktir ia nonton, bersama kawanku yang juga membawa kekasihnya. Jadi
kita double date, begitu. Namun, demi
kesenangan masing-masing, kawanku memilih duduk berjauhan dengan kami. Alhasil
kita bak kawan yang bersua tak sengaja di sebuah bioskop, bercakap sebentar dan
berpisah di jalan. Aneh juga kalo diingat lagi. Tapi toh aku tak terlalu
memikirkannya, aku sibuk meresapi rasanya jalan berdua dengan seorang lelaki
yang nekat kupacari tanpa kenal asalusulnya. Tidak ada film yang kami kira
bagus saat itu, acak saja aku pilih Ca Bau Kan. Lalu didalam bioskop, kami
paling belakang disudut, penonton sedikit sekali, dan sedikit banyak mencuri
cium, namun telinga dan mataku masih terbagi dengan jalan cerita. Jadi Ca Bau
Kan didalam memoriku, ialah kisah tragis, melankolis, dan aneh. Aku mengingat
tembakan, suasana monokromatik, teras rumah, dan gairah. Aneh, didalamnya ada
kami berdua seperti masuk dan membumbui cerita, dan kelak setelah memutuskan
mahasiswa itu sebulan kemudian, aku muak mengingat alur film itu. Aku merasa
menjadi pemain film biru amatir yang dikibuli sutradara.
Tapi itu berarti selang dua tahun kemudian ketika aku
berada diantara dua pilihan, Ca Bau Kan atau Norwegian Wood. Lalu sesuatu yang
lain, mencuri pandangan dan kuabaikan kedua pilihan yang sulit itu. Aku membeli
novel yang tampaknya bisa menginspirasi sisi religiusku. Pada umur itu, aku
adalah bagian dari kelompok mahasiswa muslim. Masa yang begitu polos jika
diingat diusiaku menuliskan ini. Namun, meski menyadari aku sedang giat
berkumpul dengan kelompok mahasiswa relijius itu, toh aku bisa merasai mana
tulisan yang menarik dan tidak. Baru satu bab kubaca novel itu, lalu kuabaikan
ia. Sebenarnya aku kecewa sekali dengan pilihanku, tapi aku menutupinya. Sejujurnya
kurasakan bahwa caranya bertutur sangat payah. Atau mungkin aku yang payah, tak
mampu meloncat terlalu tinggi.
Jadi itulah perkenalanku yang tertunda dengan
Norwegian Wood. Meski ayahku menyukai Beatles dan menulariku, tapi aku tak tahu
ada lagu berjudul itu. Aku hanya tahu sedikit lagu, dan itupun yang populer.
Aku melupakan Norwegian Wood, siapa penulisnya pun tak ingat. Tapi sampulnya,
aku ingat betul.
Tertundanya Norwegian Wood mungkin baik juga untukku.
Kalaupun aku membacanya di usia relijiusku itu, aku mungkin tak banyak
dihanyutkan Murakami. Baru setelah meluluskan diri tidak tepat waktu, seorang
dosen menyarankanku membaca Norwegian Wood. Ya, tentu saja aku akan membacanya,
pikirku, itulah yang kupikirkan sejak pertama melihatnya. Tapi aku tak mau
berusaha, bacaan itu akan datang dengan sendirinya.
Kini, aku curiga dengan pilihan buku yang ia
rekomendasikan (setelah beberapa tahun, baru aku dipertemukan dengan buku ini
tanpa kuusahakan). Ia pernah menyuruhku membaca Kitchen karya Banana Yoshimoto,
dan pada proses mengusaikannya, aku merasa ia memberi cermin untuk masa laluku.
Begitupun dengan Norwegian Wood. Inipun sedikit banyak menyerempet ke
masa-masaku melewati 19-21. Membaca Norwegian Wood, aku jadi merasa memiliki
kawan, yang mengabadikan usia itu. Sebenarnya ada lagi, Ayu Utami dalam Eks
Parasit Lajang-pun demikian. Sepertinya mata baru setengah terbuka di usia itu,
sebelumnya, mungkin aku zombie yang meraba-raba segala bentuk rupa. Tirai
panggung baru tertiup angin dan nampaklah sedikit-sedikit cermin ke-diri-an.
Itupun masih sedikitsedikit. Sebenarnya bisa juga itu tak berarti apa-apa, kinipun
aku masih saja meraba-raba.
Mungkin saat melewati usia itu, aku dipojokkan untuk
menuliskannya. Tapi semua memang begitu jelas dan detil, hingga sukar
kutuliskan. Aku harus ‘turun gunung’ dan menjauhinya, berjarak dengan waktu…dan
menjadikannya semakin kabur apa yang ingin diingat dan tidak. Bertahun-tahun
kemudian aku seolah dipermainkan kata-kata, tak tahu apa guna kata-kata tapi selalu
berharap padanya.
“…kukira, bahwa yang bisa dituangkan ke dalam
wadah yang tidak sempurna, yang disebut kalimat, hanyalah ingatan dan kenangan
yang tidak sempurna. Dan semakin memudarnya kenangan terhadap Naoko di benakku,
kukira aku bisa memahaminya lebih dalam lagi”
Komentar
Posting Komentar