Percakapan dalam Buram




Dalam buram dimulailah percakapan. Semua tentang dirinya. Diri yang tak sendiri, dibawa pula nama kawan-kawannya disitu, sampai ke indeks-nya kalau perlu. Dalam 162 halaman buram yang berteman lembaran koran sebagai pembatas bab, ia ajak pembaca, turut mengenal ia dan teman-temannya. Kisahnya tak seburam kertas pilihannya, namun dalam konteks ingatan, kupikir pilihan ini boleh juga. Ingatan menyimpan banyak persimpangan, didalamnya tidak ada yang jelas siapa mendorong siapa, siapa menyeret siapa, tahu-tahu sudah jadi Diri dalam daging. Ingatan bolehlah aku katakan disini, seperti kertas buram. Entahlah dia punya konsep canggih apa tentang bukunya, aku belum sempat membahas apapun tentang isi buku itu, kecuali pernah kukirim pesan selular bahwa aku sudah menerima buku ‘primbon’ yang ia terbitkan.

Seingatku dulu, aku pernah sempat bertanya sewaktu ia berancang-ancang mau menerbitkan buku tentang dirinya. Aku bingung maksudnya bagaimana, tapi aku kira itu semacam otobiografi. Pertanyaanku: sudah saatnyakah? Seingatku pula (sepenafsiranku juga), ia jawab enteng, memang cuma orang tua, mati, atau terkenal yang boleh menulis otobiografi? Namun ia tidak juga meyebut buku itu otobiografi. Tapi menurutku ‘itu’ semacam ‘itu’ juga. Seingatku lagi, aku agaknya menyadari mungkin pertanyaanku naif. Aku selalu pesimis, dia selalu optimis. Entah ada berapa kelinci yang tahu-tahu bisa disulap meloncat dari kepalanya.

Katanya, dalam pembukaan singkat, buku itu sebatas menyampaikan jejaknya mendesain, yang berarti pula caranya berkesenian. Pembaca dihantar untuk menamainya jejak pencarian estetika. Jadi, meski ngeyel aku bilang ini otobiografi, sekarang bisa jugalah kukatakan ini semacam cicilan untuk sebuah otobiografi, karena ia memberi batas waktu pada gambar-gambar yang ia bikin dari tahun 2005. Dan gambar-gambar inilah yang menghantar pada subjektifitasnya mengenai makna ‘teman’ dan ‘percakapan’ dan ‘merawat’. Aku berkemungkinan saja: Gambarlah yang merawat percakapan; temanlah yang membentuk ‘penggambaran’; atau percakapanlah yang menghasilkan ‘penggambaran’. Mana yang duluan menghampiri, itu tidak penting, seperti ingatan, tak selalu jelas orisinalitasnya. Seperti kertas buram yang didaur ulang dari kertas putih yang dihasilkan dari kayu dan ditebang dari hutan milik rakyat yang diciptakan Tuhan. Nah, bicara orisinalitas, menurutku disanalah ia kerap mengupayakan, menyertakan nama yang menyertainya saat ia melakukan ‘penggambaran’. Sesuatu tidak datang dengan sendirinya.





Jalan Kesenian, Kesunyian

Selama kuliah, aku patuh pada hukum rimba yang sudah dirancang beberapa pendidik desain bahwa anda adalah desainer, bukan seniman. Begitulah anak muda yang lugu dan lurus seperti aku tumbuh menjadi pendengar yang menekan kuat-kuat kemungkinan liar yang mungkin timbul dari pernyataan itu. ‘Desainer kanan’, batinku, iseng menawarkan istilah, untuk menyebut bahwa kanan-kiri tak cuma milik haluan politik atau agama saja. Tentu saja pernyataan itu harusnya dibawa sesuai konteksnya, bahwa kita bukan seniman ‘seni murni’ bisa jadi. Istilah itupun kebarat-baratan (setelah aku menyimak dan merenungkan tulisan Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa).

Bahwa desainer itu mampu memecahkan masalah, adalah suatu beban yang maha agung untuk diemban. Ia bisa juga setara dengan hakim agung, dokter bedah, cenayang, malaikat pencabut nyawa, atau pegadaian. Ia kemana-kemana bisa, seperti hantu gentayangan yang siap mempengaruhi pilihan-pilihan anda. Aku benar-benar terkagum-kagum dengan pilihan studiku waktu itu: kita adalah segalanya, kita belajar lebih banyak daripada mahasiswa lain! Kita patut berbangga dan bergalau ria. Seni, antropologi, psikologi, sejarah, agama, filsafat, teknik, komunikasi, anatomi, biologi, sastra, sosiologi, musik, dsb., pendeknya semua tentang manusia, lintas ilmu: humaniora. Kita belajar praktik sedikit-sedikit saja di bobot sarjana, teori yang sedikit-sedikit pula, dan banyak-banyaklah mencari tahu sendiri. Itulah tugas berat yang akhirnya banyak tersepelekan. Aku lebih suka mengatakan bahwa studi kami disana justru menuntut kemampuan seorang seniman: mengamati, merenungi, menginterpretasi. Karena pendidik ternyata juga seiring sejalan dengan mahasiswa, sedang bereksperimen dengan pengetahuannya sendiri. Nah, disini ia menuliskannya dengan: ‘berkesenian’. Baik seniman dan desainer, punya jalan berkesenian. Ia tak hendak membedakan satu sama lain, selalu disandingkan berduaan.

Nah, bagiku ia salah satu pendidik yang terbuka soal eksplorasinya, membuka rimbanya sendiri, tanpa hukum. Ia bilang jalannya: “kesenian, kesunyian”. Mungkin 7 tahun depan bisa jadi ia katakan keriuhan, atau malah kekosongan? Ia katakan itu ‘hingga kini’, jadi sah saja, manusia memang biangnya ketidakpastian. Seperti Sudjojono yang kerap merombak ulang pikiran-pikirannya tentang keindonesiaan dalam lukisan. Berubahnya pemikiran juga mesti disadari, begitupun dengan berubahnya gaya tulisan, maupun gaya gambar, mestinya direnungi juga. Pada titik ini baru aku mulai berpikir bahwa setiap manusia punya seni-nya sendiri, bertahap seturut usia, dan memang tak perlu menunggu terkenal atau tua untuk menyatakan sejujurnya bagaimana Diri bisa terbentuk.  Dan bagaimana-nya itu, pada akhirnya memang diri sendiri yang tanggung dan hadapi: sunyi, kemudian berbunyi, dan kembali sunyi.

Ruang Pelibatan

Pak Koskow, yang tidak begitu kukenal baik, setengah-setengah saja, antara kenal dan tidak mau kenal dan kini sok kenal, merunut bagaimana bentukan karyanya 7 tahun belakangan dipengaruhi kedatangannya ke institusi seni di kota seribu kota, dimana segala jenis pameran beterbaran seperti lalat di pasar. Ia mengingat jawaban mahasiswanya tentang mengapa berpameran: agar orang lain tahu dan terutama kita juga tahu, sampai mana perkembangan karya kita saat ini. Entah sepakat atau tidak, namun selanjutnya ia turut berpameran.

Gambarnya menjurus ke- keruangan, dimana ia kerap melibatkan sesosok kursi, atau sudut dinding. Apakah itu yang ia sebut sunyi? Dinding membatasi, kursi pun demikian, memakukan gerak. Aku pernah membayangkan, di rumah lamaku: sofa ruang tamu yang kerap diduduki papaku tengah malam saat terbangun karena lapar. Ia makan roti tawar dengan meises, dikunyah pelan-pelan dalam gelap ruang tamu. Kadang menerawang, kadang sambil terkantuk-kantuk. Saat remaja, aku sering begadang dan melihat ternyata itulah kebiasaannya. Setelah tiada, kursi itu terasa bernyawa. Dan kini, setiap melihat segala kursi, aku membayangkan mereka diciptakan untuk menyangga ketidakmampuan manusia. Memakukan Diri, memaksa terlibat dalam sunyi.

Dalam membentuk keDiriannya, ia juga hobi melibatkan orang lain terutama mahasiswa. Aku ikut satu-dua proyek kecil yang berhubungan dengan buku. Disini, disertakan beberapa karyanya bebarengan mahasiswa. Ia, mungkin secara tak sadar telah membangun ruang berdinding guratan garis-garis dengan kursi yang membuat kita duduk dan berpikir hal remeh temeh yang tak hendak kita persoalkan.




Beberapa gambar dicetak warna (kiri), kertas koran sebagai lembar pembatas antar bab (kanan)

Ruang Tumbuh

Pernah suatu kali seorang kawan berkelakar bahwa ukiran di lengannya yang bergambar angka 88 mengingatkan dengan salep panu-kadas-kurap yang cukup ternama dulu. Aku tak mengira bahwa itu tahun perpisahan dengan teman-teman sekolah dasarnya  (aku bahkan tak peduli dengan tahun perpisahan sd-ku). Dan tak mengira bahwa masa kanak-kanak bisa sangat membekas secara bebarengan.

Mungkin karena itulah gambar yang menjadi ilustrasi dalam buku reuni dengan kawan-kawan SDnya cukup mendominasi isi buku. Tidak hanya itu, ia mengajak kita mengenal mereka lewat tulisan masing-masing kawannya. Siapa mereka, apa peduli kita sebagai pembaca? Cukup baca saja, mungkin tak begitu istimewa, namun ia menempatkan mereka dalam ruang gambarnya, satu persatu. Ruang tumbuh yang personal menjadi ruang terbuka untuk siapa saja. Ia mengingatkanku dengan Andrea Hirata, bersama Laskar Pelanginya. Atau Enrico dalam Cerita Cinta Enrico punya Ayu Utami. Hanya saja ia turut bercakap lewat gambar, lewat bangku-bangku dan buku-buku, mistar dan papan tulis. Foto-foto dibentangkan, tidak ada dirinya sendiri, hanya teman-teman dan guru. Dengan narasi yang asik bermelankolia sendiri.

Meski bukan pengamat yang cermat dengan tulisan-tulisannya, aku merasakan perbedaan dengan gaya menulis artikel kecil-kecilannya yang dulu selalu dipasang di mading kampus maupun di jejaring langit-langit (meski tulisan-tulisannya kadang masih sulit kumengerti, ditambah istilah-istilah akademis campur semau gue), tulisannya disini lebih rumit lagi. Namun bukan karena beratnya beban istilah, namun bentukan semau gue-nya lebih melankolis dengan imbuhan-imbuhan yang mungkin justru ingin menampakkan keDirian, terutama saat menulis tentang teman-teman 88nya.

“..Kita patut meneman sesal untuk Atiek. Pelan-pelan, menatap foto secara bersama bisa jadi seperti menggandeng menyembuh luka ingatan”




Ruang Percakapan

Karena ia suka ‘meruangkan’ gagasannya, aku tak bisa melewatkan bagaimana tata letak buku ini di ‘ruang’kan. Sebelum mengenal Pak Koskow dari gambar, ia adalah pemerhati ruang tulisan yang cukup cerewet. Gagasan yang menarik membutuhkan ruang nafas yang baik. Itu hanya simpulanku saja. Mungkin ia lebih bisa bicara banyak. Aku butuh waktu  untuk mengerti istilah-istilah baru yang waktu itu ia kemukakan: tentang konstanta dan variabel. Hal remeh temeh baru yang kerap desainer lewatkan.

Ia (mungkin bersama tim desain bukunya) secara fisik meruangkan Diri dengan memilih kertas buram, mencetak dengan mesin toko, membatasi bab dengan kertas koran, dan merancang visualisasi kavernya dengan stempel ungu dalam kertas padalarang (karton/manila putih). Kalau mau sedikit cermat, setiap bab punya ikon yang dirancang berbeda-beda (lihat pada daftar isi), dan dicapkan dengan tinta ungu di kertas koran yang menjadi pembatas bab. Tak lupa juga ikon itu  disertakan di sisi angka yang menunjukkan halaman buku. Saya jamin buku ini akan dilewatkan begitu saja di rak toko buku kenamaan di Indonesia (atau malah justru sebaliknya?). Seingatku ia pernah berujar bahwa buku itu harus terjangkau harganya. Tentang tata letak, mungkin ada kompromi yang dipertimbangkan berdasarkan jumlah halaman dan kuota gambar (dan biaya?).




Ruang bercakap yang ditawarkan Pak Koskow, kukira pelan-pelan mampir juga dikepalaku. Bukan mengenai gambarnya semata, atau kisah pertemanannya, namun bagaimana ia membukukan Diri-nya secara materil. Buku ini amat sederhana tampilannya. Ia serupa buku primbon, pula buku resep masakan jadul. Atau yang sering aku jumpa dulu tiap pulang-pergi menumpang bus ekonomi: buku-buku murah yang dijajakan pedagang asongan, entah buku kamus bahasa jawa, ramuan tradisionil, belajar bahasa inggris untuk anak-anak, dll. Jauh-jauh kesana-kemari belajar, bekerja, dan mendidik dkv, ia malah tak menampilkan buku tentang dirinya sendiri se-good looking mungkin, yang bisa kita bayangkan (minimal) saat berjejer dengan buku lainnya di rak toko buku. Out of stream. Medium artistik yang sejauh mungkin dihindari mahasiswa, lulusan, dan penikmat desain yang awam sekalipun. Ia seperti tukang sate yang mondar-mandir menjajakan satenya tengah malam, saat kebanyakan orang memilih mem-pulaskan mata dan perutnya dalam empuknya kasur berkwalitas. Seandainya ia dilemparkan pada keliaran persepsi pasar, kasta 'menengah ke bawah' bisa jadi dilabelkan pada konsep dan target buku ini, mengingat status ‘gaya visual’ yang kerap mengalami kastanisasi dalam teori pendidikan desain.

Lepas dari tampilan,  bagiku, segala unsur dalam buku ini, nampak ataupun tidak, menyiratkan perlawanan terhadap eksekusi desain. Aku sedang menyimpannya sendiri, karena bagiku verbalisasi terhadap dunia ini masih kacau dan buram. Ada spirit yang bisa digali, meski dengan itu mungkin sebagian dari kita harus berkerut dulu karena penulis sedang tidak ingin terlalu memanjakan mata kita dengan cetakan dan warna-warni yang eksklusif untuk dimiliki. Ia, mungkin sedang ingin menawari percakapan, mungkin mencari teman baru, untuk menantang keDirian dalam daging desainer lokal kita. Wallahualam.


Komentar

  1. Sama-sama Pak Koskow, sukses buat peredaran bukunya:)

    BalasHapus
  2. Ini bikin aku ketawa Nat: "Pak Koskow, yang tidak begitu kukenal baik, setengah-setengah saja, antara kenal dan tidak mau kenal dan kini sok kenal, "

    Jadi ingat, dulu tu Pak Koskow pernah ngasih tugas mahasiswanya buat bikin memoar. Mungkin lagi riset waktu itu: momen apa yang paling banyak menyita ingatan orang dalam hidup mereka.

    Ck, wah memanfaatkan mahasiswa iki.

    BalasHapus

Posting Komentar