Suatu siang di bus penggaron-pudak payung, 2 januari 2013 |
Saya
berduka dan sekaligus gemas dengan apa yang terjadi Jumat siang kemarin di
tanjakan Tanah Putih, Semarang. Sebuah momentum tragis yang entah mengapa
terngiang terus dan menjadi hal pertama yang saya ingat sebangun tidur pagi
ini. Saya tidak terlibat langsung di tempat kejadian, saya hanya hendak
melewati jalan yang biasa saya tempuh dari rumah ke kampus, dan siang itu,
ternyata jalan ditutup. Sebuah bus melintang berlawanan arah, dan sebuah sedan
merah terperosok hancur di depannya. Polisi mengamankan lalu lintas karena
jalur dialihkan, pengendara motor yang penasaran berhenti seenaknya untuk
memuaskan hasrat mereka menjadi saksi mata. Saya pun penasaran, tapi tidak
sampai membuat saya harus ‘kepo’ dan
makin meruwetkan jalan yang sudah tersendat-sendat. Warga sekitar berkerumun,
beberapa membentuk forum kecil, sejenak menghentikan rutinitas untuk
memperbincangkan kejadian itu. Ada pula yang mematung saja, memancarkan
kengerian dan keheranan yang tak saya mengerti. Setiap pengendara motor
melambatkan lajunya sambil menengok ke kiri, beberapa menepi di jalan yang agak
jauh dari tempat kejadian, memarkir sembarangan, dan berjalan menghampiri
lokasi kerumunan. Setelah berhasil melihat langsung, kabar pun menguap dari
mulut ke mulut. Setiap mata mengolah informasi yang berbeda-beda. Kabar mulut
yang terburu-buru itupun jatuhlah ke awak media, juga terutama para saksi mata,
berlomba mengabarkan dan menyiarkan dengan bahasanya sendiri lewat jejaring
sosial. Dalam beberapa detik, kabar beranak pinak dalam berbagai versi.
Setelah
melewati kemacetan parah, saya hanya membawa ingatan dengan bentuk bus itu,
sebuah bus kota…. Saya mengingat ini karena tidak jarang saya memanfaatkan
transportasi publik. Malamnya saya mengakses berita kecelakaan itu di beberapa
situs dan akun kicauan. Kronologis awal yang dihimpun berbagai media adalah
karena rem bus tiba-tiba tidak berfungsi di jalanan menurun. Sungguh amat
fatal! Dan korban terparah justru dari arah yang berlawanan, karena sopir bus
yang sepertinya panik malah membanting setir ke kanan.
Kalau
dihitung dari waktunya, saya sampai di lokasi itu 15 menit setelah kejadian.
Kemungkinan saya berada di jalur yang sama dengan yang dilewati sedan merah
yang terperosok hancur itu besar sekali. Beberapa pengendara lainnya yang rutin
melewati jalur tersebut pasti juga berpikiran sama. Tidak hanya menghantam dari
jalur yang sama dengan bus, namun yang berlawanan pun jadi korban. Yang dengan
penuh konsentrasi melajukan kendaraan dan berhati-hati di tikungan yang menurun
(dari arah selatan), maupun menanjak (dari arah utara), terkena imbasnya.
Saya
bayangkan, kecelakaan di jalur menurun maupun menanjak sangatlah berbahaya,
karena siapapun yang berada di sekitarnya bisa-bisa ikut terhantam sehingga
terjadilah efek karambol. Padahal, Semarang adalah kota dengan kontur yang
bergelombang, berbukit-bukit. Setiap pengendara harus siap dengan konsekuensi
ini. Saya sebagai pengendara motor, pun tak henti-hentinya berkompromi dengan
jalanan semacam ini, sebisa mungkin tak akan menyeberang di jalur yang landai, ditambah
lagi, bus besar, tronton, dsb., adalah pemandangan yang lazim di Semarang atas
yang berbukit-bukit. Butuh keterampilan dan performa kendaraan yang baik jika menjadi
pengemudi di kota ini.
Keprihatinan
dan duka mendalam warga kota beruntun disampaikan dimana-mana. Walikota sampai
menyempatkan untuk menengok dan memberi jaminan kesehatan bagi para korban. Ada yang berpendapat, jalanan memang angker,
seringkali terjadi kecelakaan, dan selalu sajalah berdoa. Musibah bisa terjadi
kapan saja, bahkan untuk orang yang sudah sangat berhati-hati sekalipun. Tidak
salah memang, kematian selalu bisa terjadi dengan cara apapun. Namun melihat
bahwa penyebabnya ialah sebuah kendaraan publik, angkutan umum kota, saya
sebenarnya sungguh tidak tahan untuk tidak berbicara. Ayolah, kejadian ini meyakinkan
saya,inilah akumulasi dari kinerja aparatur pemerintahan, terutama yang
berhubungan dengan transportasi publik, polisi, dan kebijakan pemerintah kota. Saya muak dengan transportasi publik yang
ada di kota ini.
Sedari
kecil saya kerap memanfaatkan angkot/bus untuk bepergian. Sampai saya kembali
dari kuliah di kota tetangga (itu berarti sudah sepuluh tahun lebih), tak ada
perubahan yang berarti dari segi transportasi. Seringkali saya secara tidak
sadar, justru bertoleransi dengan pengendara angkutan umum (angkot, bus),
dengan memaklumkan bahwa mereka punya kebiasaan berhenti mendadak, berhenti di
tikungan, menyelip serampangan, dan bahkan suatu ketika, saya pernah menaiki
bus dimana sopirnya punya persaingan dengan sopir bus sejenis, dan dengan wajah
amarah, dia mengemudikan bus seenaknya, menyelip lawannya, bahkan
berputar-putar di jalur yang tidak semestinya, hanya demi persaingan itu. Nasib
kami ternyata dibawa enteng di tangan para sopir bus.
Bus
dan angkot bukan pilihan yang nyaman. Untuk menguji kesabaran Anda, naiklah
angkot Semarang. Kadang saya berfikir pula, bahwa untuk menjadi sopir angkot di
kota ini, diperlukan keterampilan ‘cuek’
tingkat tinggi. Tak ada yang benar-benar peduli bahwa penumpangnya
terburu-buru, marah-marah, nggrundel,dsb., mereka menerapkan prinsip berangkat sesuai
‘kuota’. Untuk menjadi penumpang angkot sejati, Anda harus berangkat segasik mungkin, perkirakan bahwa angkot
bisa ngetem bahkan sampai 45 menit. Tidak
semuanya begitu, tapi kemungkinan terburuk selalu ada.
Lalu
ketika beralih ke kendaraan pribadi, hubungan kita dengan kendaraan umum
ternyata tidak putus begitu saja. Kita masih saja mengelus dada dan bersabar
dengan budaya para angkoters. Baik
yang menumpang maupun yang nyetir.
Kalau saya berada di sudut pandang penumpang, seringkali saya menuntut angkot
harus berhenti dimana saya ‘ngadang’
(menghadang). Namun ketika saya mengemudikan motor sendiri, kegiatan menghadang
seenaknya ini ternyata membuat sebal juga, karna berhenti mendadak, berhenti di
tikungan gang, mlipir (menepi) tanpa sign, dsb. Apapun yang kita kendarai,
akan menjadi terus mengkhawatirkan apabila transportasi publik tidak pernah
dievaluasi. Mulai sekarang harus kita tekankan, bahwa kematian di jalan bisa
berbagai faktor penyebabnya, namun tidak bisa dimaklumi lagi apabila
penyebabnya adalah transportasi publik.
Semarang atas |
Saya
harap, kejadian kemarin tidak berhenti sampai pada mendoakan para korban. Sudah
selaiknya kita bertanya pada pihak bersangkutan tentang keamanan dan kenyaman
dari transportasi publik di Semarang. Semarang adalah jalur transportasi industri
karena berada di pesisir dan mempunyai pelabuhan penting yang memasok kebutuhan
dari dan ke berbagai daerah. Jalur perbatasan di barat, selatan dan utara,
adalah jalur rawan karena berseliwerannya kendaraan besar yang jadi pemandangan
sehari-hari. Semarang punya medan yang khas, di utara tanah rendah dan kerap
banjir, sering merugikan pengguna jalan, Di selatan tanah berbukit-bukit dan
landai, membahayakan pengguna jalan. Semarang perlu ditangani secara khusus,
bukan disetarakan dengan kondisi kota lainnya.
Angkutan
umum yang terorganisir dengan baik adalah harapan banyak pihak. Trans Semarang
yang saya harap-harap sejak shelter dibangun (seingat saya tahun 2010an),
ternyata kurang diorganisir dengan baik. Baru-baru ini dia muncul dengan
performa bus baru warna merah, itupun
hanya berseliweran di jalan utama menuju ke pusat kota. Padahal Semarang
sungguh luas, namun tampak kecil karena orang selalu diarahkan ke pusat
(simpang lima, tugu muda). Bagaimana kalau kita ingin ke Kota Lama, ke
pelabuhan, ke bandara, ke pecinan, ke laut, ke Gunung Pati, ke Sampangan, Ke Kaligawe, ke manapun
asal bukan di pusat kota? Kalau perlu, mengapa para sopir angkot dan bus tidak
direkrut dan dilatih kembali dalam jaringan Trans Semarang saja? Terutama bus,
dari penampilannya saja sudah banyak yang mengkhawatirkan. Harap maklum kalau
saya tidak paham mengapa mereka (angkutan umum) masih menjelma semacam hantu
lalu lintas, terus saja dipelihara dan dibiarkan mondar-mandir oleh pemerintah.
Pusat
kota memang nampak rapi, pejalan kaki dimanjakan dengan trotoar yang makin
besar, bus trans yang masih mengkilap mewakili gambaran transportasi publik yang
layak, memang sebuah progres yang nampaknya penting, kalau mau menggaet wisatawan
sehari-dua hari. Tapi bagi saya ini sebuah permak-an pencitraan semata,
alih-alih untuk mendukung kampanye “setara”. Coba dong pak walikota dan anak buah,
pak/bu calon walikota dan krunya, kalau perlu gubernurnya, naik angkot
Semarang, rasakan sendiri ketidaknyamanannya, dan jadikan prioritas Anda.
Semarang setara dengan siapa dan untuk apa???
hmm.... kali ini kurasakan nuansa penceritaanmu dari perspektif akademisi Nutz.. :)
BalasHapushehehe... it's good perspective.
hai..lamo tak jua via blog!! ini cuma perspektif penumpang bus kota kok mbun..juga pengendara motor..hehehe..aduh, sing akademis ki piye parameterna >.< btw solusi atas kecelakaan itu ialah membuat polusi tidur kecil2 di turunan tanah putih, itu jg baru nyadar akhir2 ini...sungguh...meng-haa-ruu-kannn... (kata tukul:P)
Hapus