Mungkin menulis bukan perkara yang mudah, apalagi kalau harus merangkum
kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Detilnya terlupa, biang rasa pudar,
tinggal ampas-ampasnya yang ogah ditelan kembali. Cukup dilihat sekilas: oh,
ternyata emosi sudah direguk tuntas. Seperti kopi, pahitnya berkuasa, sedang
sarinya lenyap, cepat-cepat ia memompa degup-degup problema. Nah, ia lalu
meminta tumbal kata-kata, katanya supaya afdhol punya lidah, punya otak, punya
jantung. Memori ampas kopi.
Aku melewatkan
bulan-bulan dengan biasa saja, kalau dipikir sekarang. Sebelum kalender minta
diganti, sebenarnya aku sudah mau mereview jalannya bulan di tahun yang
diprediksi penuh dengan kontroversi itu. Ternyata tidak banyak yang
mengejutkan, hanya saja, aku melambat, rasa-rasanya aku ingin melambatkan saja
tahun itu, aku ingin melambat di Bulan Desember. Seperti yang sudah-sudah
berlalu, aku ingin selalu melambat di bulan itu. Sebentar, jangan cepat-cepat
berlalu, aku ingin menulismu, kalau bisa malah sepanjang tiga puluh satu itu,
kuabadikan momentum hari. Yah, kalau saja… kalau saja kau mengenalku dengan
baik, niscaya, kau tak akan mempercayai buktinya ada. Kosong, tak ada arsip
dalam kepalaku, dan buku catatanku, dan lembaran kosong apapun, dalam situs
gratisanku juga tidak, apa yang terjadi, terjadilah… Prinsip air bah, mengalir
tanpa seni air mengalir. Blank notes.
Tidak bagus seingatku,
dalam tatanan seni rupa, ia abstrak saja. Hanya yang terasuki ilmu gila saja
bisa menafsir kalau itu bagus, bahkan menyentuh. Bingung aku mau menyimpulkan
diri kala itu, berlomba-lomba mencari sejatinya-diri, kemana kamu, telat
sekali, ini sudah jam berapa, hari apa, bulan apa, tahun ke berapa? Tahu-tahu,
hujan, bresss,,deras sekali. Desember tiba. Mengingatkan ini sudah tahun ke
berapa…
Gusti…kalau kamu
manusia, pasti sudah kuajak minum kopi, lalu kupaksa menerjemahkan ampas
kopiku. Inilah angka baik atau buruk, memulaikah atau mengakhirikah yang kau
kira baik untukku? Apakah enam saja cukup? Atau harus digenapi tujuh supaya
nampak sakral dan njawani? Lalu, apakah diri sudah berjalan seturut lakuning
alam? Ataukah aku sedang melawan arus, bahkan arus bah! Diseret-seret aku kesana,
ogah-ogahan, namun nyeret juga akhirnya. Inilah yang bisa kukatakan, dari
bulan-bulan berlalu itu. Aku sebenarnya ogah membuka-buka laci dan menemukan
detil. Begitu sajalah, dalam hari dan bulan-bulan berlalu, kesekian kali,
renungku selalu abu-abu.
…
Kukira melambat itu
lalu mendarah biru dalam hari-hariku. Bukan tanggalnya, namun orangnya. Kalender
lama melayang, bukti bahwa sejarah itu ada, telah melayang di udara, setelah
dirobek-robek, diremas-remas, dikecilkan, supaya muat dalam tong sampah. Sudah,
itu namanya sejarah. Kau tak pernah mengkoleksi kalender bukan? Kalender, siapa
yang sudi. Tapi dinding itu tak lalu kosong, sudah ada si licin, necis, kilau baru
yang terpampang mengganti sejarah. Ia masa depan. Tapi ia juga tidak dikoleksi,
ia mengingatkan saja. Akan ada sejarah baru. Itu buatku. Buat orang waras
lainnya wajar saja kalau dikatakan, akan ada harapan baru, mimpi baru.
Dengan agak
sempoyongan akhirnya aku terbawa juga ke arus bah ini. Lewat sudah Desember yang
ternyata amat cepat itu. Awal tahun kubuat-buat masalah, menyisakan ampas kopi
dan mereguk nikmatnya pahit. Kita songsong sejarah apa lagi, batinku dalam
renung abu-abuku tiap jelang lelap. Ya, sebuah terapi baru kugelar. Tarik nafas
dalam, lalu kita biarkan pikiran yang seperti kera, meloncat pagar, mencuri
jambu, merusak mawar, mencakar tetangga, menjatuhkan keramik mahal,
mencoret-coret tembok, segalanya yang nampak agresif seperti kera (dan juga
tikus, rakus) berkuasa dalam diam malam. Aku kepayahan, nyerah deh, ini susah.
Tapi hasrat menguasai kera bin tikus rakus itu tetap ada. Seiring jalannya awal
kalender, aku mencampur adukkan kopi dengan teh melati. Sebagai orang waras,
aku ingin tetap waras. Makanya kucoba segala cara, untuk mengenyahkan si Kakus
(keratikus), supaya jinak.
Kakus rakus itu memang
serupa kakus jorok. Ia mungkin Kakus atlet lompat galah, jauh-jauh sekali
perginya, tinggi-tinggi sekali sukar ditangkapi. Dalam percaya diri baruku,
kuseolahkan aku kini mulai membaru (menjadi baru). Kini saat itu, aku adalah
pemburu kakus. Meski, dengan seisi rumah saja benang masih saja kusut, aku
tetap pede. Dengan menggelar hening cipta mengelola para kakus, aku jalani hari
yang berlalu dengan ganas. Kucatat hari dimana aku akan me-mix hening cipta itu
dengan agenda Mlampah Kemawon. Jalan-jalan yang tertunda itu tak boleh
diragukan lagi. Seorang tokoh legendaris, akan kusowani. Bulan ini akan makin
cepat bila tak menjejakkan kaki ke kota kecil itu. Tanggal diurus, kawan
bersedia. Lalu ada halang merintang, kawan menunda, tanggal mundur, mundur, dan
mundur terus seperti undur-undur. Kawan hilang, sudahlah, mungkin cuma aku yang
terobsesi kesana… dan kenyataannya, ini sangat bisa dilabeli kecewa. Tapi kata
si dia, aneh, kamu mungkin belum boleh ke sana… Mistik, klenik, aku mulai suka
alasan itu. Itu membantuku mencopot label kecewa yang nemplok, mengetawaiku, menang
telak. Kecewa itu seolah anak buah para kakus yang sedari awal ingin kutangkap.
Lalu, ini sebuah momen
penting yang tanpa dicatat telah terpatri dalam otak tengahku. Di sebuah anak
tangga terakhir, hujan malam itu menggelincirkan nasibku akan agendaku,
rencana, niatan, segala yang terasa sudah berjalan di arah yang serasa benar,
menyungsangkan satu-satunya alat untuk mewujudkan bangunan rancanganku. Byar,
settt, piring tak jadi terbelah, gelas favorit tertunda pecah, namun panas
terasa di mataku kedua, aku lupa aku punya mata kedua, dan malam itu ia
mengantuk. Aku heran dengan yang kupikirkan dan kusebutkan. Kilat sekali. Aku
mohon ampun pada langit-langit rumahku, dimana aku menatap dia yang bisa
kulihat saat itu. Aku dipaksa tertidur dalam genangan air di anak tangga
terakhir, dan kurasa ini memang setimpal.
Setelah melewati
minggu-minggu dalam borgol di kakiku, mengecutkan senyumku pada beliau, dan
mencopoti label kecewa dengan susah payah (label itu ternyata tidak cuma satu),
kupikir aku harus mencatatnya. Memang, dengan cara begini, benang masai di
rumah ini terurai, belum tuntas terurai memang, bayarannya cukup mata kaki dan
waktu sebulan saja. Tidak mahal. Selama itu, aku habiskan pikiranku dalam
cerita-cerita yang hampir semuanya lama, sudah menjadi klasik, dan makin aku
suka. Aku melahap Ronggeng Paruk, Cerita dari Jakarta, Hujan Kepagian, Bukan Pasar Malam, Dari Ave Maria ke Jalan
Lain ke Roma, dan harusnya bisa lebih banyak dari itu, lalu kurasa aku mulai
harus berdamai dengan Kakusku sendiri. Kalau tak begini, mungkin kisah-kisah
mereka juga serupa rencana-rencanaku yang gagal mewujud. Cerita yang senyap
dari masa lalu yang susah, gelapnya jaman, mistisnya waktu, semua yang mereka
tuangkan menari-nari dalam benak. Ini tak seberapa, setiap jaman punya
kesusahan yang berbeda kemasan, aku tinggal membaca, menarik simpulan suka, dan
menimbang-nimbang pesan. Bayangkan saja, bukan hanya para Kakus berkuasa, tapi
juga coro. Mereka dulu seperti coro, bertahan hidup dalam segala macam kemasan
jaman.
Kera Tikus itu mungkin
memang wujud lakuning alam, membawaku dalam senyap malam dan hujan lebat malam
minggu dan label ‘K’ yang menumpuk, lalu ia menjadi momentum untuk lagi-lagi,
tak perlu memaksakan diri untuk menjadi. Tak perlu memaksakan diri untuk
menjadi. Mengalami saja. Paksaan, harapan, pamrih halus, keseolahan yang
menumpuk. Bahkan usaha untuk tak memaksakan diripun juga jangan. Setelah ini,
biar bulan-bulan berlalu saja. Biar angka-angka berlalu dengan damai. Sudahlah,
memang tak pernah lunas segala label, tapi setelah kisah tertuang, ampas terbuang,
kini kalender itu bisa tetap bergaya dengan lega…
Komentar
Posting Komentar