Setelah sekian tahun tak mampir
ke Pasar Dugderan, saya mencoba menengok kembali apakah ingatan saya tentang
pasar dugder bisa dikembalikan. Sudah amat lampau seingat saya, saat masih
mungil dan tembem (sekarang masih), Ibu mengajak ke dugderan, lalu membelikan
saya seperangkat alat makan ataupun celengan yang dibikin dari gerabah. Gerabah
ini jadi mainan saya sehabis sahur atau menjelang berbuka puasa, sambil
menonton tayangan dokumenter atau kisah-kisah nabi yang sering diputar saat
itu. Sepertinya sudah sangat lama dan tak begitu saya pahami benar dimana dan
bagaimana muasal dugderan sebenarnya.
Setiap tahun, menyambut datangnya
bulan puasa, warga Semarang merayakan tradisi ini. Dugderan berasal dari kata “Dug”
(bunyi bedug), dan “Der” (bunyi petasan). Kata beberapa sumber di langit-langit
(yang ini saya juga baru tahu), tradisi ini sudah dilakoni semenjak 1881,
berpusat di Masjid Besar Kauman. Kalau kata bapak saya, dulu Semarang punya
alun-alun, yakni didepan Masjid Besar Kauman, namun tidak terlalu besar.
Sekarang sudah difungsikan menjadi Pasar Johar, namun nama jalan di muka masjid
tetap diberi nama Jalan Alun-alun. Jalan ini sempit dan sering becek, dan
setiap melewatinya, saya membayangkan andai saja alun-alun lama ini tak
dikorbankan menjadi pasar, sehingga nuansa tempo dulu Semarang masih terlihat
(apalagi jaraknya dekat dengan kawasan Kota Lama). Sekarang ini jika ingin
menegok seperti apa Masjid pusat tertua di Semarang, kita harus melewati gang
sempit dan kadang macet dengan lalulintas becak, motor, mobil, pejalan kaki
pembeli dan pedagang yang menyesaki pinggir Pasar Johar.
Dugderan biasanya ditutup sehari
menjelang puasa dan diisi dengan kirab budaya atau arak-arakan dengan berbagai
kostum, tak lupa maskotnya yang imajiner : Warak Ngendog. Berasal dari kata wara`i (suci), dan ngendhog (bertelur), berwujud makhluk rekaan
yang merupakan gabungan beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari
berbagai golongan etnis di Semarang: Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya menyerupai
kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya
menyerupai kaki kambing (Jawa). Karena terlambat
mengetahui jadwal kirab ini, akhirnya saya dan Ratna harus puas dengan menilik
Pasar Dugder saja.
Kabarnya, Pasar Dugder pernah
diadakan di kawasan Polder depan Stasiun Tawang, Kota Lama. Namun entah karena
apa, kali ini diadakan di sepanjang jalan dari arah Bugangan menuju Pasar Johar
sampai di area Masjid Besar Kauman (saya curiga jangan-jangan karna polder itu multifungsi dan berbau menyengat.hehe.). Jalanan
berpaving ditutup demi pasar rakyat sekali setahun ini, dan suasananya
mengingatkan saya dengan Pasar Sekaten di Jogja. Beberapa wahana mainan besar nampak
menjulang dari kejauhan, seperti bianglala dan semacam kora-kora (perahu yang
diayun). Lapak penjual mainan dan gerabah banyak berserakan, dan saya berusaha
mengingat mainan apa saja yang setia dijual di Pasar Dugder. Selain gerabah, juga
ada kapal otok-otok, gasing, topeng kayu, perabot mini rumah-rumahan,
gelembung sabun, dan gula-gula (makanan khas pasar rakyat yang tak pernah ketinggalan:
warnanya eye catching, rasanya manis,
namun cepat ‘kempes’ dan lengket kalau ga cepet-cepet dimakan). Saya memilih membeli penggelembung sabun dan
gula-gula yang harganya relatif murah (Rp 5000 untuk gula-gula, Rp 3000 untuk
gelembung sabun). Harga Kapal othok-othok sekitar 10ribu-15 ribu tergantung
ukuran, sedang gasing sekitar 10ribuan. Sekedar berjalan-jalan dan menikmati warna-warni pasar rakyat yang jarang
saya jumpai, menjadi objek jepretan yang menggiurkan.
Sayang, saya tak sempat mencoba
naik bianglala ala pasar rakyat ini. Mendengar bunyi besi tua berputar cepat
menciutkan nyali kami. Pasar rakyat ini benar-benar pesta untuk anak-anak. Orang
dewasa mungkin bernostalgi dengan suasana ini, dan anak-anak masih sempat tahu
ada mainan tradisional dari gerabah atau kapal othok-othok lawas yang pernah
dimainkan bapaknya dulu. Mainan ala taman hiburan juga bermacam bentuknya.
Uniknya, beberapa mainan, seperti kuda-kudaan berputar (istilah kerennya carrousel/komidi putar), diganti dengan
kereta mini, dan diputar oleh tenaga……manusia! Pun dengan kereta api yang
ditarik tangan oleh mas-mas yang setia memutari rel mini. Dohh…ini ga jauh beda
dengan naik odong-odong ya…malah lebih capek masnya. Demi bocah-bocah yang
tetep cuek, ga peduli gimana caranya pokoknya muterrr. Hehehe..
Mendekati muka Pasar Johar,
pedagang semakin merapat dan dilindungi terpal, karna mungkin beberapa yang
berjualan di Pasar Johar berpindah ke depan. Dagangan baju, kurma, alat dapur,
dsb., tumpah menyesaki jalan dan membikin jalanan becek. Di penghujung gang
masuk Masjid Besar Kauman, lagi-lagi wahana mainan besar kami temui. Lebih
sesak dan saling berdekatan letaknya, semakin ngeri dan nekat saja para
pedagang itu. Namun inilah Semarang, inilah wong
Jowo..dengan segala kenekatan dan keluguannya (terutama komidi putar itu
lho…). Sukur-sukur, Semarang masih bisa bertradisi, meski campur aduk
bikinannya (hewan imajinernya itu lho..,), tetap berusaha gayeng dan ngeksis
berbudaya.
So, inilah beberapa jepretan kami,
yang (meski) sedikit buram, namun masih (sangat) bisa dinikmati lho:) Semoga cukup menggambarkan suasana Pasar
Dugder-an yang warnawarni.
gerbang dugderan dan penjual gasing |
celengan dan kapal othok-othok |
Ratna di depan Foto Studio Jawa yang windows displaynya klasik banget, sayang sudah berubah jadi toko kelontong |
komidi putar dengan tenaga manusia :) |
ciehh.. haha, gaya apa ini :P |
kiri: bianglala yang mepet banget sama para pedagang, kanan: itu bukan lampion tapi komidi putar balon udara, juga mepet dengan pejalan kaki |
suasana di muka pasar Johar; gerabah warna-warni yang warnanya lebih 'neon' dari yang dulu saya punya; Popcorn dengan merek Mc D :) |
bianglala dan perahu ayunan |
menjajal gelembung dan mencicip gula-gula |
Akhir kata...selamat menunaikan ibadah menahan nafsu amarah iri dengki, dkk. Semoga tetap bersahaja di bulan puasa, tidak iri karena ada yang tidak puasa, dan tidak minta dihormati cuma karena berpuasa:)
Komentar
Posting Komentar