Menonton pertunjukan khusus
seperti teater merupakan suatu kemewahan di Kota Semarang, seperti sebuah oase
di teriknya kota yang dipenuhi perkantoran, pabrik, truk dan kontainer yang
memenuhi hampir sebagian jalan utama. Setiap pagi manusia-manusia berjejal di
jalanan kota, berkendara motor, berdempetan di angkot, menyumpahi pengendara
motor yang meliuk seenaknya di gang-gang bermobil, mengeluh angkot ngetem (menunggu penumpang) seenaknya, sambil
dilintasi pesepeda yang kesepian dan terpinggirkan, adalah pemandangan yang
biasa disini. Pagi yang cerah begitu cepat, gerah yang kepagian, membuat otak
mengunci kata santai. Tak ada santai, mekanisme tubuh bergerak begitu saja,
tanpa berpikir mengapa harus begitu, apa harus begini, benarkah seperti ini,
dsb., ruh manusia sudah menghapal bagaimana semestinya tubuh menindaklanjuti
kedatangan matahari. Cerah adalah gerak, sinar berarti harapan, terik menuntut
semangat.
Namun Semarang mempunyai warna
pagi yang benderang, khususnya di kota bawah. Di kota atas yang berbukit
mungkin pagi tak begitu galak cerahnya, namun kegerahan dan kesibukannya sama
saja. Hampir kukira, bahwa cuaca terik di kota ini justru membuat suasana hati
tak sebanding dengan gairah matahari pagi. Terlalu terik, terlalu panas,
terlalu gerah, tuntutan untuk semangat yang keterlaluan. Bagian bumi di titik
ini, di kota ini, seperti menyimpan batubara yang terburu-buru menghanguskan
ubun-ubun sebelum tengah hari tiba. Lalu setelah sekian tahun berumur jadi
ibukota, terik sepertinya tak berkontribusi untuk meninggikan gairah akan
hiburan dan seni. Terlampau banyak peluh yang diperas matahari semenjak pagi,
tak sempat mengeluti dunia lain, dunia para setan yang nakal berimajinasi, tak
berenergi mencari-cari karena yakin, tak bisa dihadiri, atau malah tak ada yang
bisa dihadiri.
Wajah kota ini garing prematur,
sibuk berbisnis, belagak setara, terburu-buru untuk setara, padahal panas saja
sudah membuat keluh berlipat ganda dan merusak mood kerja. Kurasakan, keterburuan yang melupakan diri dari seni,
adalah kesibukan yang lelahnya tak berujung. Mengingat bahwa esok hari sudah
disambut dengan pagi yang juga terburu-buru, agaknya kita perlu banyak
‘penampakan’ seni di kota ini. Sebuah penampakan yang menunjukkan, ternyata
kita tak berarti apa-apa dengan segala kesibukan dan penghasilan luar biasa,
tanpa menikmati seni. Ini kurasakan setelah menemukan penampakan teater di kota
Semarang, setelah berbulan-bulan garing disengat kota panas ini.
Adalah Teater Kaplink dari Udinus (Universitas Dian Nuswantoro) si inisiator yang membawa penampakan seni di penghujung Mei ini, menggelar hajatan hari jadinya (yang kabarnya ke 16) dengan memboyong atmosfer seni (terutama pertunjukan) ke dalam kampus birunya. Bertajuk WonderLanesia: Appreciation of Art, 3 harmal (28-30 Mei 2012) mereka menyediakan tempat untuk berbagai lomba dan pertunjukkan seni musik dan teater yang sangat menghibur! Sayangnya, aku terlambat sehari mengetahui ada acara ini, dan hanya bisa menikmati jadwal acara malam 2 hari berikutnya, yang diisi dengan pertunjukan Teater Cekat & Wayang Kulit dari Solo, dan Teater Kaplink sendiri di malam terakhir.
Teater Cekat mentas dengan judul “Dhemit”, yang memang diisi dengan banyak
dhemit sebagai aktornya. Berkisah mengenai terhambatnya pembangunan sebuah
gedung dan jalan disebabkan sebuah pohon yang susah ditebang karena konon
dihuni para dhemit. Pembangunan itu juga mengorbankan banyak penduduk desa yang
tidak mendapat kompensasi layak atas tergusurnya tanah mereka. Cerita menjadi
kocak karena dialog para dhemit yang sok intelek dan terpelajar, sedang ketua
mereka yang dipanggil Pak Lurah, adalah dhemit berkarakter kemayu. Setting
panggung dan penataan cahaya dibuat dramatis dengan sebatang beringin tua.
Penata rias dhemit juga patut dipuji karena hasil kerjanya bagus. Musik
latarnya paling oke, vokal para prianya terdengar luwes namun jantan, dan
alunan alat musik tradisi membikin suasana trenyuh, hikmad, seram, didapat
dengan sempurna (paling tidak menurutku). Dan tentu saja, acting yang jujur dan sepenuh hati adalah bagian yang
menyempurnakan pementasan. Inilah mahalnya sebuah teater, semua indera kita
terpancing, energi yang tidak main-main untuk sekedar menghibur manusia di kota
yang garing sebelum tengah hari. Sekumpulan orang yang
memutarbalikkan kenyataan sehari-hari menjadi sekedar lelucon, cemoohan,
renungan, menggambarkan dunia perasaan menjadi lambat dan hiperbolis, membuat
penonton jadi lebih menikmati keruwetan hidup…
Malam berikutnya, Teater Kaplink
menjadi penutup keseluruhan acara dengan mementaskan monolog “Topeng-topeng” dan pentas teater
berjudul “Pancasil*t”. Inilah kelompok
teater aseli Semarang yang baru saja aku tahu. Monolog yang dibawakan Gembeng
merupakan dialog bersahutan pergolakan batin seorang Waska
yang mempunyai sisi lain dalam dirinya bernama Semar. Dialog bergantian antara Waska, Semar, dan Gembeng yang sekaligus menjadi narator. Permainan musik latar jenis
elektrik mengesankan liku manusia masa kini yang hidup dengan banyak hingar
bingar suara sejenis itu. Konflik batinnya kurang terasa, vokal yang digunakan
hampir senada ketika membawakan suara hati yang berbeda. Namun naskah yang serius ini dibawakan dengan mimik muka yang apik, jauh dari karakter aktor yang kocak dan nyleneh saat diluar panggung.
Senada dengan pementasan monolog “Topeng-topeng” , permainan music elektrik nge-beat masih digunakan di pementasan Pancasil*t, ditambah sorotan slide video garis-garis, kotak-kotak, bulat-bulat, dan siluet perkotaan silih berganti dengan cepat. Berkisah tentang pekerjaan aneh yang menjadi rahasia umum disekitar kita: pembuat jasa skripsi/tesis, calo pns, germo, dsb., yang bekerja demi uang, mengumpulkan modal sebanyak mungkin, dan suatu ketika orang-orang seperti inilah yang terpilih menjadi dewan-dewan di pemerintahan. Rakyat kecil yang dikorbankan oleh mereka, digambarkan dengan sekumpulan lelaki bertubuh kerempeng, bercelana ketat hitam dan kaus putih ketat, terkadang kompak, namun sesekali saling mengejek dan berkelahi sendiri. Di akhir kisah, seorang wanita yang kuduga sebagai dewi keadilan, mengitari para dewan yang tidak jujur tersebut dan mengikat mereka. Dua orang pengamen menutup pementasan dengan mengajak para penonton berdiri menghadap layar yang menyorotkan bendera merah putih, memberi hormat sambil mengumandangkan lagu Indonesia Raya bersama-sama dengan para pemain teater yang sudah berkostum pengibar bendera pusaka. Suasana menjadi hikmad karena kekompakan antara pemain dan penonton yang menyanyi bersama-sama, meski bendera yang dikibarkan hanyalah sorotan virtual, dan meski itu bukan upacara sungguhan, semua tampak bersungguh-sungguh memberi hormat, seakan dirasuki nasionalisme dadakan.
Teater 2 malam itu, adalah semangat dadakan yang merasuki kami. Mungkin untuk menikmati hidup lebih baik, mungkin untuk bersyukur bahwa Semarang juga menciptakan para pelakon teater yang kualitasnya tidak kalah dengan kota sebelah. Mereka, yang mencintai seni perannya dan tidak menguap sia-sia oleh teriknya kota.
Komentar
Posting Komentar