Bebunyian Sunyi


Dibawah langit hitam: deruan motor berseliwer, tancapan gas mobil kencang-kencang, decitan rem mendadak, dciiittt!!! ngingg… ngeeengggg …whuzzzz…zzzeeeesss…,, breerrrrr,,,,, wheusszzz…

Dibalik kamboja pot berbunga satu: tatapan dan terawang tanpa tujuan,, tanpa gumaman, diam menekur langit dibalik hiasan kamboja pot, berpikir sambil sedikit mengeluh, hemm… hemm..., slurp, glek,glek.. diminumnya habis kopi instan manis yang keburu mendingin karna angin malam. Hem…kesunyian malam yang berisik. Tak ada suara lagi di rumah ini, tinggal aku sendiri, mencari sunyi yang diharap-harap mengajakku beradu imaji. Namun sebenarnya, sunyi tak bisa sendiri. Selalu ada bunyi. Ketika aku mencoba sunyi, bersengaja diam, diam tanpa suara tenggorok dan kicauan lidah, aku malah mendengar banyak bebunyian. Yang paling meneror tentunya suara dibalik kepala, yang menentukan perihal antah berantah yang saling beradu tampil, yang seolah penting.

Teror paling jelas berada di luar halaman rumah, jalan di gang beraspal yang tak jauh dari jalan raya beraspal, disitulah mesin-mesin bermotor menyumbang bunyi yang makin jelas justru di sepertiga malam. Mesin yang dikendalikan oleh jiwa muda penggemar tancap gas, keromantisan jenis absurd yang bisa kubayangkan. Namun terror keduanya tak menghalangi suara detik jam, meski sedikit timbul tenggelam, suara yang seharusnya bisa menjadi alternatif pengantar tidur selain menghitung kambing hitam dalam hidup kita. Tik, tik, tik… Aku berpikir, tanpa tujuan, bahwa aku mengharapkan paling tidak: ketenangan, suatu ketenangan yang stabil diantara provokasi bunyi yang selalu mampu kutangkap. Aku berbakat menangkap bunyi yang sebenarnya tak kubutuhkan, hampir selalu mengacaukan konsentrasi.

Lalu seekor burung mengicau panjang, nguiiikk… atau, nguiiit..? Panjang, paling banyak diulang tiga kali. Hampir setiap malam aku mendengarnya. Pertama kali aku mencurigai, pertandakah ia? Apakah tentang kematian, atau suatu peringatan..? Lalu aku menjadi sangat terbiasa, karena ternyata ia selalu berkicau di tengah malam. Bunyi yang bisa kutolerir sederajat dengan detik jam. Kebiasaan tak lagi membuatmu curiga, begitupun dengan suara tukang sate yang memecah kesunyian dini hari, tek-tek-tek-tek-tek-tek.., mengadu rejeki dibalik pintu pagar yang telah tertutup rapat, dan redup hitam dibalik ventilasi. Kukira mereka semacam seniman yang mengadu karyanya dengan sedikit apresiator, sedikit yang bisa menikmatinya, namun karena sedikitnya, ia mencandu kejutan, ketidakpastian, yang mana satu dari sekian ribu pasti ada juga yang nyantol di hati, pasti ada juga yang lapar dan memanggilnya. Seperti jodoh.

Aku menggaruk kepalaku dan terdengar usrekkan jelas ditelingaku. Sedikit menelan ludah, glek, dan mengecap lidah yang usai dijejaki kopi. Manis, pahit. Mengusap hidung, agak gatal seperti ingin bersin, srot-srot, kutarik mereka lebih kedalam agar tak jadi bersin (pelan-pelan ia turun kembali dan mendorongku agar bersin dan kuulangi menariknya lebih dalam). Aku pernah mengheningkan badan dan mata, namun cerita selalu bergulir lewat telinga. Andaikan aku menjadi budekpun, aku sudah terlanjur pernah bisa mendengar, sama halnya seperti si buta yang dahulu pernah bisa melihat. Keterlanjuran tak akan bisa mematikan imajimu.

Entah, mana yang harus lebih dulu kudengar untuk kuterjemahkan. Bebunyian diluar pagar sudah bisa kuabaikan, menjadi latar suara buram dan mengosongkan ruang untuk suara yang lebih jelas. Kurasa aku sudah mensortir beberapa tema yang penting, namun bebunyian dibalik kepala terasa sedikit membingungkan (atau malah mengasyikkan?). Pekerjaan, kawan, pekerjaan, kekasih, pekerjaan, mimpi-mimpi, pekerjaan, kawan, masa lalu, pekerjaan (lagi!), berkarya, oh…! Ah, sebaiknya aku membaca, ini lebih mudah kulakukan. Hemm.., tapi, mengapa menghindar lebih lama lagi, aku bisa menuliskan ini, aku gelisah dalam menerjemahkan apa yang sesungguhnya kuingini. Dan sepanjang usia-memutuskan-sendiri, aku selalu merasa aku terlalu banyak bermimpi namun terlalu sering ragu untuk menggapainya. Memikirkan sebab-sebabnya membuat renungan ini jatuh menjadi keluhan. Dan aku ingin selalu berhenti memikirkannya, apa pekerjaanku, apa ini cukup memberi kesenangan sekaligus kejutan…?Apakah tujuan, apakah perlu motivasi?

Aku terlalu banyak bersuara, aku terlalu banyak mendengarkan suaraku sendiri. Tiba-tiba aku menangkap suara gemerincing lonceng yang seirama dengan sebuah langkah, mirip langkah kuda. Sebentar saja ia hilang. Aku kembali di pikiran sebelumnya. Tentang…, ah, tentang terlalu banyak mendengar bunyi. Bertelinga tapi tak bertelinga. Mendengarkan tapi tak mendengar. Tak mendengarkan tapi mendengar. Karena telinga memberi kita cara untuk mengeja dan memberi nama, mendorong tangan-menggores, membuka mata-mematri, maka bermain-mainlah aku dengan kata-kata. Terlalu serius bermain. Dan tenggelamlah aku dalam diri sendiri, samudra kata-kata yang luar biasa kacaunya. Tak berbunyi, tapi membentuk kata, membentuk rasa.   






Komentar

  1. haa...dirimu melakukan meditasi diluar kesadaran tuh...hehehe... tak ada langit-langit kamar, keheningan pun jadi
    hehe

    BalasHapus

Posting Komentar