Topeng rumah ibadat

Aku harusnya sedikit lega, karena media juga memberi dialog terbuka tentang hal-hal dengan kata kunci agama, tuhan, keyakinan, kepercayaan, iman, ritual, dan sejenisnya. Hal ini semakin banyak kuketahui, melalui jejaring sosial, blog, dan situs berita yang kesemuanya dari dunia maya. Kalau mau sedikit serius untuk membaca artikel bertemakan hal-hal diatas, sebenarnya banyak gagasan dan ide menarik untuk kita serap dan renungkan, agar kenaifan membatasi kekritisan hati nurani, sedikit-sedikit bisa  diurungkan. Aku yakin, kita yang berakal pasti bertanya dan terus mempertanyakan eksistensi diri, terutama saat permasalahan dunia hampir selalu terhubung pada kata kunci diatas. Hatinurani seringkali ditolak untuk bertanya lebih jauh, bagai dituntun orang buta dalam gua yang gelap, berpegang pada ketidaktahuan yang sama.

Tapi, dari sekian banyak yang sudah mulai membuka hati dan pikirannya untuk memperoleh pengetahuan baru, masih juga banyak yang belum tersentuh dengan kerangka ‘cinta kasih’. Kekhawatirannya adalah, pembaca artikel-artikel kritis itu hanya orang yang itu-itu saja, padahal yang malas membaca lebih banyak lagi! Sehingga, aku harusnya tak begitu heran kalau kekerasan atas dasar agama, tuhan, dsb., itu masih terus berlangsung. Ketidaktahuan membuat masyarakat mudah terprovokasi, memberi tuduhan kafir, sesat, dkk. Ada sebuah perkembangan menurutku, bahwa anak muda sekarang, mulai menumbuhkan bibit yang baik dalam bertoleransi. Arus deras informasi di langit-langit maya, seakan seperti Tuhan yang mampu menjawab ketidaktahuan kita akan banyak hal. Sayangnya, menulis memang penting, tapi membuat satu langkah nyata lebih penting. Karena tentunya, ada yang harus ‘digaet’ dari orang-orang yang tak mempedulikan gagasan dalam sebuah tulisan, yakni dengan terjun langsung. 


Salah satu penerjunan yang bermanfaat itu, aku ketahui dalam sebuah pameran visual Bienale Jogja 2011, yang beberapa hari lalu kukunjungi. Pameran itu tak sekedar pamer gagasan dalam karya, namun juga memberi semacam laporan atas penerjunan langsung (project) beberapa peserta pameran, sesuai dengan ide masing-masing. Salah satu peserta, Arya Panjalu dan Sara Nuytemans membuat sebuah project yang melibatkan 60 siswa di sebuah desa di Bantul. Ide dasarnya ialah membuka pemahaman terkait keragaman agama di masyarakat yang multikultur. Mereka mengajarkan anak-anak membuat topeng berdasarkan tipikal bentuk tempat ibadah, lalu menuliskan doa kepada Tuhan sesuai pemahaman mereka sendiri terhadap apa yang sudah disampaikan Arya dan Sara. Menarik, bahwa disini aku bisa melihat apa saja permohonan mereka pada Tuhan. 

“Ya Allah, semoga aku masuk surga..”
“Ya Allah, semoga agama Islam adalah agama yang paling baik. Amin”
“Ya Allah limpahkan rahmatmu”
… dsb.. 

salah satu doa mereka
Banyak pula yang berdoa tentang kedamaian, dan yang paling banyak ialah doa untuk orangtuanya (kukira doa itu semacam terjemahan dari doa untuk orangtua versi Bahasa Arab). Ya, saya bisa tahu rupa-rupanya beginilah kurang lebihnya anak-anak sekolah dasar menyerap pengetahuan agama.  


Project dan dokumentasi mengenai misi mereka menjadi penting, karena langkah mereka nyata, dan anak-anaklah sebagai sasarannya. Siapa bisa tahu atau mengira kelak merekalah sekumpulan anak yang nantinya menjadi orang dewasa yang memperjuangkan kedamaian dan memperbaiki masa depan beragama di negeri ini? Mungkin kalau memberikan seminar, orasi, dakwah, iklan layanan masyarakat, dialog,  dsb untuk orang dewasa, kebanyakan sudah menebalkan dinding kepalanya, sudah yakin aman dengan pengetahuannya, apalagi buat mereka yang punya kuasa untuk membuat aturan dan membikin fatwa. Project kecil yang singkat ini, lebih mengena dan tak berputar-putar, tak perlu membaca rincian rumit simbol-simbol khas seni visual yang jamak dipilih seniman. 

anak-anak berfoto memakai topeng rumah ibadat

Komentar