Kekecewaan

She know. She feel. And she`s disappointed.

Bertemu lagi dengannya, yang tak nampak setahun belakang ini karna pemenuhan obsesinya. Bertemu gadis yang belum lama dulu, pernah kusingkap sedikit kegelisahan tentang tabir-tabir yang terbuka untuknya. Kukira ia akan pulang dengan kebanggan penuh, bahwa ia mengenal pelosok, paling tidak, salah sedikit pelosok di negeri besar ini. Kukira ia akan bercerita tentang semakin kayanya pengalaman yang yang ia dapat sembari menjadi pendidik muda disana. Kukira aku akan menjadi kecil di hadapnya karna tak pernah kusinggahi belahan bumi lain selain dua kota-ku sekarang. Kukira mungkin aku akan semakin jauh tertinggal olehnya, karena ia gigih dengan setiap keinginannya, menjadi berguna dan berharga. Siapa tahu, kemudian ia akan menjadi semakin jauh dari pelosok paling jauh di negeri ini. Kukira ia akan menjadi lebih besar dan mantap menjalani karirnya.

Sebagian benar, kukira. Namun untuk sementara ini, kemungkinan itu sedang digodok, berhenti sejenak di sebuah tikungan tajam kehidupan. Hatinya kecewa. Kulihat matanya berucap, mewakili lidahnya. Lalu penjelasan-penjelasan lainnya menyusul lewat mulutnya, meski tanpa mengucap kata kecewa. Bagiku, kekecewaannya adalah bibit unggul yang ia punya untuk tumbuh semakin kuat. Ya, karena ia melihatnya langsung, merasakannya langsung. Dia melakukan perluasan batas pada keterbatasannya.

Ia, katanya, tanpa berpikir matang dan menyelidik, dihadapkan pada jalan yang ia maui untuk ia coba. Mendidik dan melihat dunia, sebuah kerja nyata yang siapa tahu kelak membuka kemudahan sebagai manusia, kenyamanan material dan spiritual. Ia ikuti dan ia lolos, sebagai pemudi yang layak belajar kehidupan, siap gentayangan minim fasilitas. Siapa yang tahu bakal bagaimana nantinya, yang penting sudah dicoba! Alam yang eksotis di negeri ini adalah imbalan yang pantas untuk seorang kota mengadu pengalaman di dusun terpencil. Senyum anak-anak terutama, saat mereka menerima pendidikan dengan lahap, adalah anugerah. Ia belajar kesenangan itu, ia terima anugerah itu. Sesudahnya baru kesulitan, perkara di luar anak-anak, perkara orang dewasa, perkara kepentingan yang menggelisahkannya sebagai pendidik muda. Ia adalah lapisan terkecil dari lapisan luar yang menggenapi hasratnya keluar dari titik nyaman.   Benar-benar tidak nyaman saat kulihat ia sekarang. Tikungan tajam dan menurun saat ia melaju kencang dan percaya diri, menggoyahkan cita-nya.

Ia lihat, seperti akupun melihat, menjadi dewasa memerlukan keahlian politis: bertindak, berucap, mengalihkan tindakan, mengalihkan ucapan, mengalihkan pikiran dan hati. Anak-anak itu, katanya, menjadi korban banyak tindakan para orang dewasa. Pendidikan yang membebani dan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi, terlalu dipaksakan sehingga seringkali menjadikan para dewasa mengorbankan nuraninya, karena lapisan-lapisan kekuasaan yang tak mampu mereka lawan. Lembaga-lembaga yang mengatasnamakan pendidikan untuk negeri dengan pamrih yang begitu halus penampakannya: pencitraan. Ia tak mampu melawannya, karna ia bagian yang tumbuh dan menggenapi sebuah pencitraan. Kini kekecewaan menahannya untuk merenung dan menjauh, dan kukira inilah proses terpentingnya. Siapa yang tak kecewa dengan negeri ini, begitu luasnya, begitu beragamnya, dan begitu banyak yang menahan kita dari berbuat adil dan manusiawi.

Ah, aku tak tahu apa-apa dan tak pernah kemana-mana. Hanya kudengar cerita dan hanya kuresapi, lalu kulupakan. Kalau kita tahu dari cerita saja sudah mampu membuatmu sedih, bagaimana jika merasakannya langsung?  

Semoga lekas sembuh dari kekecewaan dik. Kau pemberani, dan kuatkanlah dirimu dengan pengetahuan itu.

Komentar

  1. It's made to be real, Hun-ku sayang..
    It's good story..:)

    Kita sebenarnya membuka mata pada dunia yang sesungguhnya..mimpi tak lagi berarti untuk kita terus berjalan pada pematang kehidupan.
    Seluruh aspek kehidupan adalah rimba liar..
    Apakah itu di pelosok hutan atopun pusat perkotaan..kita menghadapi 'kekuatan' yang sama: sistem

    Hanya ada dua pilihan: ikut sistem dan menjadi tidak manusiawi, ato 'nyempal' dari sistem dan idealisme terpuaskan.
    Aku akan memilih pilihan ketiga (untukku sendiri): masuk dalam sistem dan memanusiawikan diri sendiri dan aturan-aturan dalam sistem itu (kadang merusaknya juga :D )..merasuki pilihan-pilihan yang memungkinkan untuk kita luruskan..
    Mencoba memenuhi hasrat untuk 'membenahi sesuatu', tapi secara underground. Karena jika tidak begitu, kita hanya dihambat dimana-mana dan tak terpuaskan. Jadi, bagaimana kita membuat periahan sekecil apapun dan membuatnya besar perlahan-lahan..:)
    Itu berarti, kita jadi pemberontak yang 'halus'.

    Selamat datang di rimba liar :D

    BalasHapus
  2. "periahan" itu salah ketik, harusnya "perubahan".. payah ki..tiwas wis serius-serius gayane..hahaha

    BalasHapus
  3. ah, awmbun..thanks! Kmu pasti bs merasakannya krn dirimu jg pendidik:) Menjadi dewasa, juga sebuah dunia rimba. Pemberontak haluslah mgkn solusinya. Tapi kekecewaan jg mnjdi titik rawan pelemahan diri, aku bs saja berhenti di titik itu kalau mnjdi dia ato kamu. Tapi itulah tantangannya. thanks mbun:)

    BalasHapus

Posting Komentar