Karen Armstrong: autobiografi spiritual

Kisah pribadi atau lebih tepatnya autobiografi yang ditulis dengan natural, cenderung mendekati pesimistik dan rendah diri sampai-sampai aku menduga ia hanya sedikit dari sekumpulan penulis tenar yang secara kebetulan mempunyai masa lalu yang tidak jamak dipilih sekian banyak orang, dan lalu mencampakkan masa lalunya sendiri untuk kemudian menyadari keuntungan yang bisa didapat dari keberbedaannya itu. 

Sampai pada titik awal pembacaan autobiografinya, aku kurang mengenalnya sebagai peneliti Tuhan yang wajar, dalam artian, sewajarnya tak perlu mendramatisir keTuhannan kalaupun ia sendiri mengalami transendensi yang tak bisa dialami secara natural oleh manusia umumnya, apalagi menggunakan bahasa yang rumit, yang membuat pembaca yang kurang menyukai topik ini akan segera berhenti di titik awal. Tuhan adalah topik yang abstrak dan sebagian umat manusia hampir kelelahan mencari kebenaran yang paling dasar, sehingga banyak yang mencukupkan diri dengan kebenaran permukaan, yang dekat dengan realitas sehari-hari, dan bahkan lebih menguntungkan realitasnya masing-masing. Tapi, itu cuma pradugaku atas bukunya yang lain, pengaruh awal sebelum aku membaca autobiografi Karen Armstrong.

Ia, menggilai Tuhan lewat judul bukunya yang jenius: “Sejarah Tuhan”, dan aku berhenti di titik awal karena permasalahan bahasa. Aku tak mempercayai penerjemah untuk buku jenius ini, karena itu berarti penerjemah harus lebih jenius atau setidaknya sefaham dengan cara berfikir dan bertuturnya. Tapi itu alasan yang kuadakan karena alasan ketidaksiapanku mencerna pengetahuan itu, alias terlalu terburu-buru. Aku siap membaca karena arogansiku atas pengetahuan, dan itu kurang baik dalam proses belajar, tidak natural. Buku itu tergeletak lama, karena aku menyadari aku belum terlalu percaya pada kesiapanku, yang berarti mungkin, aku kurang ‘pemanasan’ yang cukup sebelum mencerna pengetahuan di dalamnya (meski saat itu aku sudah cukup merasa skeptis). Selain itu, omongan sana-sini tentang si penulis yang mantan biarawati lalu meneliti Tuhan, kini dipilih untuk diterbitkan oleh sebuah penerbit, yang kutahu, punya kiblatnya sendiri dalam memilih jenis bacaan, membuatku ragu si penulis punya teori yang mandiri (tidak berpihak). Agak campuraduk sehingga penundaanku semakin tak tentu untuk membaca karyanya dengan judul yang jenius itu. 

Tapi entahlah, ada semacam tuntunan untuk mencoba membaca karyanya yang lain, (masih dengan penerbit yang sama) dan berharap akan terjebak pada penerjemahan yang bisa kumengerti. Sebuah autobiografi, agaknya tidak terlalu membawa-bawa istilah ilmiah yang rumit sehingga aku bisa menganggapnya sebagai buku harian si penulis. Okelah, aku tak sengaja membaca paragraf awalnya, karena suatu desakan untuk menghindar dari obrolan di suatu hari, dan bukan benar-benar berniat membawanya pulang untuk kubaca di kasurku yang nyaman. Ketidaksengajaan rupanya sebuah energi lain yang serupa dengan keabstrakkan Tuhan, sehingga aku lalu meminjam buku itu untuk kubaca ulang di kasurku yang nyaman. Disitulah aku merasa, bahwa Karen manusia biasa yang penuh kecemasan, ketidakpercayadirian, sentimentil, peragu dan kesulitan-kesulitan lain secara psikologis. Penuturannya, panjang lebar dan memakan banyak kata dalam satu kalimat, sehingga aku merasakan tekanan batin yang mungkin sama dia rasakan saat memorinya harus dikembalikan ke awal dimana ia merasakan banyak kekecewaan. Keputusan atas obsesinya dilanjutkan dengan pemutusan atas obsesi itu sendiri. Aku tak bisa bercerita banyak soal pernik agama yang dia geluti, namun keputusannya untuk menuliskan setiap kegelisahannya sebagai manusia yang selalu berfikir dan menimbang-nimbang, sangat berani, dan  bahwa hal kecil-kecil itu tersampaikan dengan baik, seperti sebuah lukisan yang tepat menggambarkan suasana hati seseorang yang paling absurd. Aku membacanya, sebagai tulisan yang jujur, meski banyak pula kerumitan yang harus dibaca ulang, karena kurasa ia begitu dipenuhi ide.

Yang menarik, bahwa visinya meneliti Tuhan bukan membuka kemungkinan skeptis menjadi atheis, sehingga perpecahan bisa terjadi antara yang (percaya) tuhan dan yang tidak. Aku menafsirkannya sebagai sebuah keterbukaan yang natural sebagai manusia. Pada setiap lingkungan yang berbeda memerlukan penanganan yang disesuaikan dengan kesanggupan lingkungan itu sendiri. Manusia mengutamakan akalnya untuk memecahkan persoalan, tapi mempercayai apa yang ingin dia percaya juga kewajaran, termasuk dalam hal yang tidak ingin dilibatkan oleh akal, seperti ritual yang khidmat tanpa penjelasan sebab, nyanyian dan mantra-mantra aneh yang manjur untuk problema manusia, dan pengorbanan tertentu yang tidak masuk akal. Semuanya bukan tanpa sebab, hanya saja waktu membuatnya seolah tanpa sebab. Karen tidak mendukung, tetapi ia membetulkan letak pergeseran makna, sehingga bila saja kekuatan dan kekuasaan yang tak bertuhan lebih besar dibanding yang bertuhan, maka ia (setidaknya) bisa meredam dendam yang masing-masing ditafsirkan secara radikal oleh keduanya.  


Mungkin, setelah ini aku siap menemui Sejarah Tuhan dengan lebih terbuka dan positif.

Komentar