Jilbab abad 21

GOD isGOOD_ilustration by Sunardi*

Ibuku mengenakan jilbab, paling akhir diantara ketiga saudarinya. Para sepupu dari saudari ibu juga telah cukup lama mengenakan jilbab, salah seorang diantaranya malah sejak duduk di bangku SMP. Para ibu itu, mengenakan jilbab setelah beberapa putrinya memutuskan untuk berjilbab. Kalau kuingat-ingat, tahun 2001 saudari sepupuku, Ulli, pertama kali memutuskan untuk berjilbab ketika masuk SMP. Disusul kakaknya yang berjilbab di pertengahan bangku SMA. Lalu kemudian satu sepupuku yang lain mulai berjilbab ketika memasuki bangku kuliah. 

Pada tahun 2000an, aku lebih sering melihat wanita berjilbab dibanding sebelumnya. Ketika aku kecil, wanita berjilbab yang kutemui adalah seorang guru ngaji. Jilbabnya sederhana saja, tidak terlalu ringkas tapi juga tak terlalu panjang ke bawah, kebanyakan berwarna putih, dan selalu mengenakan rok kain, tidak terlalu ketat tapi juga tak terlalu lebar. Simbah uti-ku belum memakai jilbab ketika itu, tapi ia selalu rapi dengan kerudung tipisnya. Memakai jilbab tertutup biasanya dikenakan saat lebaran di desa simbah, tapi itupun juga tidak terlalu banyak seperti sekarang. Modelnya bervariasi, kupikir para kasidah adalah kiblat mode jilbab pada saat itu. Ada model dengan aksen ikat kepala di atas jilbab, seperti model tutup kepala Yasser Arafat. Ada pula model ‘kotak’ di kepala, seperti mengenakan peci laki-laki namun dengan bahan yang lebih halus, kemudian baru ditutupi kain jilbab yang tertutup. Saat lebaran, baju muslim yang dijual di toko-toko biasanya berwarna cerah, lengkap satu paket dengan jilbabnya yang berwarna senada dengan bajunya. Aku ikut senang ketika menjelang lebaran, memilih baju baru, dengan kerudung atau jilbab yang matching dengan bajunya.

Ketika aku KKN tahun 2008 di desa Makam Kecamatan Rembang Purbalingga, ada satu sekolah dasar Muhammadiyah yang jadi sasaran mengajar kami. Sekolahnya sempit dan dindingnya retak-retak. Letaknya di sudut gang kecil sebuah pemukiman sempit di pinggiran desa itu. Sudah jauh di pinggiran desa, kondisinya juga tidak karuan. Para gadis-gadis cilik disitu, mengenakan seragam merah putih dengan lengan pendek dan rok selutut. Semuanya berjilbab. Mungkin karena sekolah itu berada di yayasan Muhammadiyah, pikirku. Terbesit untuk bertanya pada orang-orang jaman dulu, apakah sudah sejak lama Muhammadiyah mewajibkan para putri berjilbab sejak duduk di bangku sekolah dasar. Atau mungkin standar penutup kepala bagi para putri sudah semakin berkembang dan ketat menurut yayasan yang didirikan Ahmad Dahlan itu. Aku belum banyak mengetahui dan mempelajari mengenai sejarahnya, tapi mengenakan jilbab di usia sedini itu kupikir terlalu mengekang kebebasan anak. Toh pakaian yang dikenakannyapun juga tidak mendukung fungsi menutup aurat tubuh, hanya bagian rambut saja yang wajib tertutup.

Seorang wanita Iran yang juga perancang novel grafis, Marjane Sartrapi, mempunyai kesan-kesan mendalam tentang menggunakan jilbab di negerinya. Penggunaan jilbab ataupun selembar kain untuk menutupi kepala belakang, merupakan hukum yang berlaku pada masa pemerintahan tertentu di negerinya sewaktu ia kecil.

Hukum seperti itu memang sangat politis, berubah-ubah tergantung siapa yang sedang berkuasa. Para gurunya di sekolah dasar sering memarahi Marjane ketika ia begitu kritis dengan peraturan baju muslim yang seharusnya bagi kaum wanita. Persepsi pribadinya ialah menghendaki kebebasan memilih dan mengatur apa yang bisa dan pantas dikenakan oleh wanita. Tapi politik bisa membolakbalikkan bagaimana sebuah ideologi agama pantas diberlakukan untuk sebuah bangsa. 

Di Indonesia, jilbab merupakan penggerak ekonomi rakyat. Fashion busana muslim, majalah muslimah, pasar dan toko-toko busana muslim, dsb., membuat lahan kerja dan prospek usaha yang menguntungkan. Ada banyak pemicu terhadap spiritualisme berpakaian ini. Dari yang murni menjaga akidah muslimnya, atau kemudahan terhadap kekurangan tertentu, atau lingkungan yang didominasi dengan sandang seperti ini. Semuanya bermuara pada spiritualisme pribadi, yang bagaimanapun juga merupakan pilihan bagi kerohaniannya. Toh, aturan-aturan yang ada dalam berpakaian ini, masih harus mengikuti kemampuan pribadi dalam menjalani kesehariannya sendiri. 

Saat lebaran, keluarga besar di Semarang berkumpul satu rumah di desa simbah. Aku masih ingat betapa kekeuh para saudari sepupuku yang belum lama berjilbab ketika itu, lari menuju kamar terbirit-birit  karena ada tamu lelaki datang memasuki ruang keluarga. Saat itu mereka juga menghindari sebisa mungkin melepas jilbabnya, bahkan kepada sepupu pria yang lain. Saat kami berempat tidur siang, tak satupun melepas jilbabnya, takut kalau-kalau ada laki-laki tiba-tiba memasuki kamar kami. Padahal suhu udara di desa simbah sangat panas, dan kipas angin selalu berebutan dengan keluarga di ruang lain. Mereka tak luput dari ancaman keringat berlebihan, apalagi ketika tidur. Siang atau malam hari sama saja. Semua dijalani dengan penuh pengorbanan. 

Tapi kini tak sepanas dulu bagi mereka. Tak perlu lari terbirit-birit ketakutan, kami akan berleha-leha di bawah kipas angin musholla ketika siang menyengat, tanpa berjilbab sekalipun, dan para tetamu silih berganti melewati kita. Aku lega tak lagi melihat mereka terlalu resah dengan aurat yang ada di kepala dan tangannya. Kita bersaudara dan menjadi apa adanya lebih menyenangkan dan menenangkan. Soal spiritual, masing-masing tak ada yang bisa menjangkau seberapa jarak kita dengan pencipta.

Jilbab memang persoalan yang rumit. Banyak wanita muslim mendambakan dirinya suatu saat berjilbab, setelah siap lahir batin, menunggu rahmat dari Allah SWT. Banyak pula yang tak perlu menunggu saat-saat penuh rahmat itu untuk datang, yang penting usaha untuk menuju rahmat itu diniati dan dilaksanakan saja, meskipun kesiapan dan komitmen kurang mantap. Di gang-gang kecil pinggir kota, seringkali kulihat para ibu berseliweran dengan jilbab di kepalanya, menggunakan daster selutut berlengan pendek. Kadang pagi sekali, berangkat ke pasar atau menemani anak atau cucu berjalan-jalan, juga di sore hari, bertandang ke rumah tetangga dengan kostum jilbab dan dasternya. Santai sekali. Aku yakin berjilbab merupakan komitmen yang penuh pengorbanan, berusaha semampunya untuk membiasakan diri keluar rumah dengan menyembunyikan helai-helai mahkota di kepalanya. Mungkin selain helai-helai itu, tak ada yang lebih berharga untuk ditutupi dari penglihatan lelaki.

Untuk satu kepercayaan terhadap satu agama, banyak cara yang diyakini benar dan sah bagi setiap wanita muslim. Mereka menafsirkan aturan menutup aurat yang nyaman dengan kepribadian atau idealisme mereka sendiri. Jilbab besar dengan baju-baju besar, atau jilbab ringkas yang tak menutup bagian dada, atau jilbab dengan hiasan dan metode rumit yang memakan waktu. Memerlukan sebuah komitmen dan pengorbanan untuk menjalani ritual spiritual ini. Seorang sepupu pernah kebingungan mencari kain jilbabnya yang match dengan warna bajunya. Padahal kami para sepupu sudah siap berangkat ke swalayan di kota Bojonegoro lebih cepat, agar tak terlalu kemalaman. Pun kami juga cukup santai berpakaian. Hanya dia yang kami tunggu, karena jilbabnya terselip atau hilang entah dimana. Sebentar ia mengikhlaskan jilbab dengan warna lain karena tak enak membuat kami menunggu, tapi sebentar kemudian ia berubah pikiran untuk mencari kain jilbab itu lagi. Ia sangat kekeuh untuk menemukannya, dan kami akhirnya menunggu dalam diam karena tak mau banyak berkomentar. 

Terkadang, sikap seseorang pada gaya berjilbabnya memang unik. Aku tahu, kadang berjilbab membuat wanita lebih efisien waktu karena tak perlu khawatir menata rambut, jika sedang aneh atau tak karuan bentuknya. Tapi kian lama beberapa wanita berjilbab juga tak kalah lama dalam mengatur bentuk jilbabnya dibanding wanita tak berjilbab. Warnanya, motifnya, ciputnya (dalaman jilbab), brosnya, penitinya, bentuk ikat, lipat atau melingkar, dsb. Pengguna jilbab memang kian bertambah, rubrik-rubrik fashion jilbab kian digemari, toko-toko khusus busana muslim juga kian bertebaran, tak sulit untuk tetap modis sembari melatih komitmen spiritualnya.

Selain motif spiritual, banyak pula wanita dewasa yang hampir sepuh menggunakan jilbab supaya helai-helai ubannya bisa disembunyikan, tak perlu repot mengecat rambut atau mengatur model rambut.  Banyak pula yang menyukai penampilan dan bentuk wajahnya jika tertutup jilbab. Jilbab sudah seperti alternatif mode penutup kepala selain topi, pita, bando, syal,dsb. Apa bedanya dulu dan sekarang?


___


*nb: ilustrasi keren dari kawan Sunardi, terimakasih sangat!! Baru kali ini meminta kawan ikut memeriahkan gubuk kecil saya. Untuk tulisan kecil ini, ilustrasinya sangat berharga untuk saya yang hanya menulis sekedarnya dan sesenangnya.

Untuk kesekiankali, maturnuwun Nardi:)

Komentar