Ibu-ibu

“Jika ibu-ibu berkumpul, dunia hancur” 
kelakar seseorang—

Menjadi ibu adalah salah satu proses penting perkembangan spiritual seorang wanita. Saya belum berkesempatan secara fisik menjadi ibu, yang saya ketahui adalah setiap manusia berkesempatan menjadi anak-anak. Dan proses menjadi ibu seringkali dikejar secara ekstrim oleh perempuan, tanpa menimbang kesesuaian dirinya dengan calon suami yang akan menjadi partner hidupnya. Kebanyakan sangat kompromistis, berkompromi atas dasar keinginan keluarga, berdasar kebutuhan ekonomi, berdasarkan sensitifitas di lingkungan sosialnya, dsb. Wajar, tak ada yang bisa lepas dari ego ini, pernikahan adalah sesuatu yang sangat kompromis.

Beberapa hari lalu aku mendengar obrolan ibu-ibu tentang keponakannya yang diduga akan segera menikah dengan kekasihnya. Sang ayah mengabarkan hal ini pada salah seorang ibu itu sehingga pembicaraan ini berderet sampai ke pemahaman orang ketiga. Si ayah tentunya tak menduga (atau tak peduli?) bahwa ini akan menjadi omongan yang ‘mengular’ bila ia menyampaikan uneg-unegnya sendiri perihal kabar gembira itu. Hanya saja, selaiknya manusia yang berbeda penangkapan, cerita itu jadi terdengar agak angkuh bagi si ibu pendengar tadi.  Mungkin si pendengar punya alasan sendiri mengapa hal itu dianggapnya agak angkuh, sehingga cerita itu diceritakannya lagi pada seorang ibu lainnya (dan mereka berada di dekatku). Aku mendengarnya, dan karena mengenal si gadis itu, aku lalu bertanya apa yang mereka bicarakan. Pernikahan itu sendiri belum lagi pasti, tapi omongan sudah menyebar menjadi obrolan asik yang tidak asik untukku. Aku berkata, anak sendiri belum lagi jelas, mau memperjelas keanehan keluarga lain. Hal itu lalu dijawab salah seorang ibu, bahwa obrolan ini merupakan suatu yang wajar. Aku diam, karena kurang mengerti logikanya, namun sedikit mengerti, mungkin wajar wanita mencari persoalan lain untuk mencairkan suasana dengan teman ngobrolnya. Topik itu memang mencairkan obrolan diantara mereka. Aku mengerti kalau itu.

Lalu aku mengungkitnya lagi, darimana bisa tahu semua fakta itu, siapa yang memberitahu? Ia menjawab, bahwa ibu si gadislah yang menceritakan itu padanya. 


Ooh….., aha…!  Kukira pantas sajalah hal ini bisa jadi omongan yang prematur. Aku percaya bahwa si gadis bukan tipe yang suka mengobral rencana pribadi, meski itu keluarganya sendiri. Kalau ia bicara sama ibunya, itu malah bagus dan sangat wajar. Ia percaya pada ibunya sendiri untuk meringankan bebannya sendiri. Tapi bagiku, justru curahan hati ibunya yang menurutku belum perlu, bahkan pada saudaranya sendiri, dan inilah yang jadi pangkal obrolan nyinyir ibu-ibu di dekatku ini. Meskipun kita sekeluarga, bukan berarti urusan keluarga inti semudah itu diceritakan. Dan seorang ibu, mestinya percaya pada keluarganya sendiri, pada anaknya, sebelum menjadikan persoalan pribadi obrolan hangat bagi lawan bicaranya…

aku mendesah saja…, Para ibu..bagaimana aku harus mengungkapkannya??  Apa lagi yang kalian obrolkan dalam pengajian, arisan, atau perkumpulan lain…?
Setelahnya, dari apa yang kalian obrolkan, doktrin apa buat anak-anakmu yang kalian paksakan, nilai-nilai apa yang kalian tuntut, atau…? 
Ah,, Kalau sekecil ini membesar, saya mulai setuju bahwa kehancuran ada pada obrolan ibu-ibu.

Komentar