Dunia Sophie: terlibat dalam filsafat #2

Aku payah dalam hal mengingat pengetahuan. Aku hanya ingat apa yang ingin aku tahu, dan ingatan itu biasanya berupa perasaan terhadap pengetahuan itu. Aku ingat bagaimana perasaanku terhadap buku-buku yang aku suka, tapi tidak begitu ingat dengan jalan ceritanya. Begitupun dengan banyak film yang kutonton dan lagu yang kudengar, ingatanku selalu seputar rasa yang kualami saat itu. Fakta-fakta seputar objek kerap kuabaikan. Inilah mengapa aku tidak menyukai matematika, fisika, akuntansi, apapun itu yang membutuhkan kepastian. Mungkin bisa saja aku disebut malas berpikir, rasa-lah yang mendahului apa yang ingin kulakukan dan kuketahui. Tapi aku justru bisa berpikir keras jika rasa itu yang medorongku melakukannya.

Cerita anak yang membekaskan rasa ngeri dan menyebalkan, kutemui saat membaca Alice di Negeri Ajaib. Kutegaskan bahwa aku tidak mengingat satupersatu makhluk yang ia temui, yang aku ingat adalah hutan, pohon, lorong , kucing loreng dan nyonya kartu gendut. Semuanya menyeramkan. Yang tidak adalah tuan kelinci. Buku tentang Alice kudapatkan dengan versi yang juga mengerikan. Aku belum pernah membaca versi aslinya, buku itu lebih seperti buku permainan dibanding cerita anak yang utuh. Setiap kisah atau pertemuan Alice dengan kawan barunya yang ajaib, selalu diakhiri dengan 2 pilihan : jika kau memilih menuruti nasehat teman barumu, kau harus melanjutkan ke halaman sekian, dan jika kau punya pilihan sendiri, kau bisa membuka halaman sekian. Begitu seterusnya. Dan tentu saja setelah kisahnya selesai kubaca, kuulang lagi dari awal dengan memilih opsi yang berbeda dibanding sebelumnya, karena itu berarti ada dua ending atau proses yang berbeda. Menyebalkan karena buku itu tidak memberi kisah utuh yang satu, ia memberi minimal 2 pilihan dan keduanya sama-sama menjebak, kalau tidak bertemu ratu jahat ya menjadi raksasa. Dahiku berkerut dan pada usiaku yang bocah, aku merasa imajinasi tentang negeri ajaib ini sangat aneh. Aku tidak kagum, hasilnya aku tertekan dan tak ingin membaca kisah itu lagi.

Mengherankan bahwa di usia bocah, aku tidak menikmati kisah itu. Berimajinasi tentang negeri ajaib harusnya jadi hal mengasyikkan bagi anak-anak. Tapi imaji yang digambarkan Lewis Caroll, si penulis, tak akan bisa dilupakan hingga kini. Dua atau lebih pilihan, kamu bisa mengikuti aturan mainnya dengan memilih salah satu, karena itu yang kamu inginkan dari sebuah cerita. Tapi menginjak halaman akhir, bahkan belum sampai kisah akhir, kamu berpikir bahwa jalanmu tidak menyenangkan, dan kau menjadi penasaran seandainya kau bisa kembali di titik sebelumnya, atau di beberapa titik sebelumnya, lalu memilih opsi yang berbeda. Kau bisa membalik halaman itu dengan mudah dan memulai lagi. Kau bisa berpikir begitu karena memang pilihan itu adalah bagian dari cerita, dan saat mencoba memilih opsi lainnya, bukan tidak mungkin kamu kembali ke hasil yang sama, bertemu dengan makhluk yang tadi juga kautemui. 

Pertanyaan itu menjebak! 

Ia hanya menginginkanmu berpikir ulang dengan keputusanmu, mengulang kembali jawabanmu, dan pada akhirnya kau tak berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya! Agak menjengkelkan. Lalu karna kau merasa terjebak, kau tak mau mengikuti aturan mainnya, dan membaca seluruh halaman tanpa diperintah lagi, supaya kau tahu, apa saja rintangan dan makhluk yang Lewis Caroll ciptakan untuk kita temui. Tekanannya, ada pada pengulangan langkah. Tekanan berikutnya adalah perasaan yang sama seperti ketika Alice terbangun dari mimpinya, mengulangi langkahmu dan bertemu hal yang lagi-lagi sama adalah mimpi buruk.

Komentar