Kartini dalam Buaian Pak Pram

finding the mind spirit
Kartini tak akan begitu dimengerti kalau Pak Pramoedya tidak membuat riset atas surat-suratnya. Dan Kartini tak akan menjadi begitu berarti jika ia tak pernah menuliskan surat-surat pengisi kebosanannya menjadi putri pingitan. Dua manusia ini, adalah pencatat dokumentasi sejarah Indonesia yang harus diperhitungkan. Salah seorang berumur panjang dan tutup usia melintasi beberapa macam penguasa negara, dan salah seorangnya lagi menutup usia hanya pada satu jaman (tak lebih dari seperempat abad umurnya), dimana Indonesia dikuasai orang-orang Belanda yang kerap disebut penjajah. Kartini bertemu Pak Pram, adalah jodoh yang tak mengenal pertemuan fisik. Mereka adalah dua manusia yang saling memberi pengaruh satu sama lain, tidak diwaktu bersamaan tentunya. 

Kartini adalah inspirasi, bagi siapapun yang membaca tuntas suratnya. Paling tidak, surat-suratnya pernah saya baca di buku terjemahan Sulastin Sutrisno  berjudul  ‘Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya’, terbitan 1981. Buku itu diterjemahkan langsung dari surat-surat Kartini yang dijlid menjadi buku oleh Mr. Abendanon (salah satu sahabat pena Kartini, sekaligus Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda), berjudul Door Duisternis Tot Licht

 “Panggil Aku Kartini Saja”, merupakan riset biografi Pramoedya Ananta Toer terhadap Kartini yang ditulis berdasarkan surat-surat Kartini, diantaranya yang pernah diterbitkan dalam versi aslinya (Door Duisternis Tot Licht), versi melayu (Habis Gelap  Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane), dan versi bahasa daerah lainnya. Kekurangajaran oknum pemerintah, membuat risetnya tak lagi komplit dan utuh. Karena sentimen politik, jilid III dan IV hilang menjadi korban vandalsme Angkatan Darat tahun 1965 (menurut keterangan di lembar hak cipta). Sehingga buku ‘Panggil Aku Kartini Saja’ yang bisa dibeli di pasaran saat ini merupakan penyatuan riset jilid I dan II saja yang bisa diterbitkan hingga kini.

Setelah menuntaskan ‘Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya’, saya tidak bisa tidak untuk terus mengimajinasikan bagaimana Kartini mengalami hari-harinya, bagaimana silsilah keluarganya yang pasti, dsb. Wajar, kalau perempuan yang dikenang sebagi pelopor emansipasi wanita ini harusnya punya riwayat hidup yang lebih jelas dan terdokumentasi, paling tidak dari kerabat atau orang terdekatnya. Namun, keheranan saya ialah tak adanya tulisan dari orang-orang yang pernah mengenal dia secara personal, misalnya saja adik-adik perempuannya, ayah, kakak laki-laki bahkan suaminya, yang kesemuanya terpelajar, berpendidikan, dan cukup sering bersinggungan dengan pergaulan antar bangsa asing. Padahal pendidikan dan minat mereka terhadap kemajuan bangsa saya rasa cukup untuk membuat tulisan mengenai kehidupan Kartini. Mungkin, mungkin saja mereka punya motif politis sehingga tak bisa leluasa menuliskan kehidupan pribadi Kartini yang sesungguhnya.

Maka, sampai dengan kemerdekaan Indonesia, Kartini masih merupakan sosok misterius, karena ia hanya menunjukkan identitas dirinya lewat versi dirinya sendiri, yakni melalui surat-suratnya yang dikumpulkan menjadi buku. Tidak ada testimoni tentang Kartini langsung dari suaminya yang Bupati Rembang, ayahnya yang Bupati Jepara, kakak laki-lakinya yang ahli bahasa asing, atau adik-adik perempuannya yang ikut bercita-cita memajukan perempuan dan seperjuangan bersama Kartini saat mendirikan sekolah khusus perempuan. Apakah tak terpikir oleh mereka untuk menulis sama seperti Kartini semasa hidup, atau menjadi konfirman yang ikut bersaksi atas kehidupan Kartini?

Saya rasa tidak, sampai dengan kemunculan buku ‘Panggil Aku Kartini Saja’. Pak Pram lahir tahun 1925, selang 24 tahun setelah kematian Kartini, dan 37 tahun kemudian terbitlah buku itu. Waktu yang cukup panjang untuk melewatkan banyak kesaksian hidup dan ingatan dari kerabat Kartini, sehingga risetnya lebih banyak terbantu dari dokumen sejarah Indonesia pada masa Kartini hidup. Meski demikian, Pak Pram banyak membantu pembaca menganalisa gaya bertutur Kartini, menafsirkan kalimat-kalimat panjangnya yang kadang dibumbui metafor dan perumpamaan. Membaca buku ini, membantu saya memahami banyak kemungkinan lain dari ungkapan, curhat, dan pengamatan Kartini terhadap banyak hal: keluarga, bangsa Jawa, adat istiadat, agama, posisi pria dan wanita di kalangan bangsawan Jawa, kesenian lagu, gambar, sastra, dsb. Efek lanjutan membaca buku ini, condongnya kekaguman saya bukan pada Kartini, tetapi pada Pak Pram, pada apa yang dikorbankan Pak Pram untuk mengulik-ulik kehidupan orang, hanya dengan menafsirkan surat!


Saya berkata begini, karna sulit melepaskan pengaruh Pak Pramoedya sebagai tokoh sastra penting; dimana seorang penulis besar sedang menuliskan tokoh sejarah yang juga piawai menulis, yakni Kartini. Ia berusaha memaparkan lebih panjang dan lebih lebar dari apa yang sudah dituliskan oleh Kartini sendiri, dan ia berusaha, sekuat tenaga, menopang jalan pikiran perempuan Jawa feodal yang beranjak dewasa, dengan mengumpulkan data dan fakta mengenai latar belakang jaman dimana Kartini lahir dan mengayuh roda hidupnya. Jadi, tak sengaja saya mengagumi apa yang sudah Pak Pram tafsirkan, dibanding yang sudah dituliskan oleh Kartini sendiri, dimana Kartini juga adalah pengamat yang jeli terhadap kondisi bangsanya.

Sayangnya,  untuk menjadikan surat Kartini sebagai dokumen sejarah bangsa, agaknya tak diperhitungkan sebagai bahan ajar disekolah-sekolah. Kartini lebih sering diposisikan untuk menjadi pahlawan emansipasi wanita, pembebas terhadap keterbatasan ruang gerak wanita, tanpa menyentuh substansi setiap kalimat dalam surat-suratnya. Ia, di usianya yang masih sangat muda--20 tahunan ketika menulis banyak surat,--lebih saya lihat sebagai sosok yang spiritual dalam menghadapi dilemma hidupnya, kritis terhadap pengetahuan agama, ritual, dsb., yang banyak ditelan mentah-mentah oleh rakyatnya. Bila seseorang sudah mau membuka diri terhadap kepercayaan yang dianutnya, maka pengetahuan datang mengajukan dirinya, dan Kartini, adalah salah seorang yang dianugrahi kebesaran jiwa dan kecerdasan menganalisa pengetahuan spiritnya.

Komentar