Merazia iman

Awal Ramadan lalu, saya terusik dengan pemberitaan mengenai sebuah razia. Tidak jauh, Sukabumi tepatnya. Rombongan pria berseragam cokelat kalau tak salah, memasuki sebuah warung makan kecil dan salah seorang diantaranya memberi perintah pada anak buahnya untuk lalu memerintahkan pengunjung warung agar meninggalkan warung tersebut. Pengunjung warung yang jelas nampak menikmati makan siangnya, tampak gusar dengan kedatangan rombongan berseragam. Sesegera mungkin dihabiskan isi piringnya, beberapa yang lain mungkin tampak tak lagi bernafsu makan. Mereka kaget, karna selain diusir, awak berkamera video juga meliput adegan itu. Para karyawan rumah makan langsung menyembunyikan sejumlah piring laukpauk yang tertata di meja saji sewaktu video diarahkan ke mereka. Ada ekspresi takut juga malu disorot kamera, tapi mereka tak mau susah payah berdebat dengan para petugas dan manut saja ketika diperintahkan untuk segera menutup warung makan. Pemberitaan tersebut menamainya razia warung makan yang beroperasi saat Ramadan. Warung makan, menurut laporan berita itu, boleh beroperasi hanya saat jam sore menjelang berbuka puasa.

Para petugas tak sendirian, selain mereka yang berseragam Satuan Polisi Pamong Praja, juga nongol sedikit dalam liputan tersebut beberapa pemuda ‘berseragam’ jubah putih bak manusia padang pasir yang kesasar ke bumi tropis. Salah seorang tertangkap kamera sedang serius mencatat catatan antah berantah, mungkin sedang mencatat nama warung yang berhasil dinasehati sekaligus dipermalukan. Jadi, razia tersebut digalakkan dengan kerjasama sebuah (atau lebih?) ormas Islam setempat. Dan razia ini pastilah legal, karna Satpol PP selalu bekerja atas perintah pemerintah daerah setempat. Perintah resmi inilah yang saya kurang mengerti, karna tak pernah saya tahu sebelumnya bahwa orang dilarang berjualan makanan saat bulan Ramadan, paling tidak didaerah saya tinggal, Jogja dan Semarang. Tak pernah saya dengar berita senaif itu, bukan beritanya, tapi objek berita itu: warung  makan, satpol PP, dan bulan puasa. Ketiganya menggabungkan suguhan berita konyol yang pernah saya dengar. Kabarnya pula, bahwa keputusan itu diambil karena laporan warga yang resah dengan masih beroperasinya warung-warung makan itu di bulan puasa. Jadi, mengapakah keputusan yang gak toleran itu diresmikan?

Sebagai warga negara yang dijamin kebebasannya berpendapat, seharusnya kita perlu melibatkan diri untuk bertanya. Saya kira mereka (pemerintah setempat dan ormas yang nimbrung) juga tidak berpikiran cekak, bahwa Indonesia punya 6 agama yang sudah  diakui, juga kepercayaan yang dilindungi kebebasannya, itu bukan sekedar gosip. Meski setiap daerah punya mayoritas, tak bisa juga menutup mata pada yang minoritas. Satpol PP mengusir para penikmat makan siang itu, seolah-olah seperti menangkap basah temannya yang sesama muslim sedang tidak berpuasa. Atau seolah-olah, seperti dikhianati oleh temannya yang memihak pada yang tidak berpuasa. Seolah-olah, semua orang harus berpuasa, menahan lapar dengan terkantuk-kantuk dan lemas. Seolah-olah, mereka semua seiman sehingga harus ditegur atas ketidakmenurutan mereka atas tradisi berpuasa. Mereka, para pemilik warung, memang tak didenda atas pelanggaran peraturan pemerintah yang musiman tersebut, tapi ditegur dan dinasehati, di depan kamera pula! Dan karna beberapa faktor, mungkin malu karna tersorot kamera, tidak banyak yang protes dengan razia tersebut. Ditegur dan dinasehati, seolah-olah kebenaran sedang ditegakkan kembali oleh kawanan malaikat dari padang pasir beserta kawanan pejabat negara yang mungkin punya motif lain.

Jika berada dalam situasi tersebut, saya merasa kasihan dengan para petugas yang baginya merupakan alat penegak aturan pemerintah. Mereka harus bertampang marah, keras, tegas, agar target tak banyak pilihan lain selain mengalah. Harus mengalahkan hati nuraninya bahkan mungkin agama dan kepercayaannya sendiri, untuk profesional dalam tugasnya. Merazia warung makan di bulan puasa sama saja merazia iman seseorang. Iman, kurang lebih kuartikan sebagai kualitas kepercayaan seseorang, dalam hal ini dengan Tuhannya, penciptanya. Merazia iman, berarti ikut campur dalam kepercayaan seseorang dan lalu membuatnya jadi umat yang patut dipersalahkan. Mengapa sih, jadi angkuh dengan hanya berpuasa, semena-mena menuntut orang lain yang tidak berpuasa agar menghargai yang puasa? Padahal, puasa di bulan puasa, di jaman inii, sudah sangat dimudahkan dengan berbagai acara rohani, berkurangnya jam sekolah dan kerja, ditutupnya banyak tempat hiburan malam, berkurangnya penjual makanan di siang hari, ditemani banyak sesama muslim pula yang berpuasa, bukankah itu sudah menjadi kemewahan bagi yang berpuasa? Mengapa harus meminta lebih banyak lagi pemanjaan bagi ritual ini? 


cekricek beritanya di harian ini dan ini

Komentar