Pekuburan gang buntu

Untuk alasan yang misterius, sebenarnya aku cukup menikmati pemandangan sebuah pekuburan. Kuburan di benakku saat kecil, merupakan gambaran misteri Tuhan yang mengasyikkan. Ialah kenyataan yang bisa kita lihat dan rasakan bahwa kekuatan Maha Besar itu ada, akhir sebuah jasad dan mula sebuah ruh yang menjelma angin sepoi-sepoi. Di benakku saat kecil dan kurang sadar dengan pengetahuan sendiri, kuburan adalah tempat ketakutan bersemayam sekaligus tempat ajaib yang mengagumkan. Mungkin artinya: aku mengagumi bagaimana kekuatan kuburan bisa menakutkan orang kebanyakan, aku dan kebanyakan orang.

Akhirnya pada suatu ketika di masa dewasa, aku ingat kembali, bahwa pernah juga kuakrabi kuburan karena dorongan yang misterius. Kuburan terdekat di kompleks rumah, yang pernah kusambangi bersama seorang kawan SD, iseng menjenguk bagaimana rupa pekuburan itu. Karna lokasi menjorok ke sebuah gang sempit dan buntu, kami tak pernah melihatnya langsung dari jalan. Lokasinya yang mengucil itu menguatkan kesan seram. Ketika itu kami berdua bersepeda siang menjelang sore, panas masih tersisa, tapi hembusan angin dalam kayuh sepeda menyejukkan sepanjang jalan. 

Sesampai di muka gerbang, panas cuaca berganti ditopang pohon-pohon rindang, tapi panas badan mulai memuncak, sejuk hilang disaat kayuh sepeda terhenti membuat keringat bercucuran baru terasakan. Kuburan yang agak berantakan dan tidak tertata rapi, kuburan para warga kampung setempat. Pekuburan yang terkucil ini benar-benar hening. Suara laju kendaraan dari ujung jalan tak terdengar memberisiki penghuni kubur. Yang tersisa selanjutnya adalah hembusan angin sepoi-sepoi yang dibawa pohon-pohon besar nan rindang. Sejuknya menyerap suhu tubuh kami yang mandi keringat. Baru sejenak sampai, kawanku mengajak segera pulang setelah kesan pertamaku terhadap kuburan baru terasa, kesan yang aneh. Dia mengajak pulang karna hari sudah menjelang petang bagi anak-anak seusia kami. Kesan itu kuingat untuk kutagih dilain hari.

Tak perlu lama menagih, beberapa hari/bulan yang tak kuingat pasti, aku kembali menjenguk pekuburan di ujung gang buntu itu. Aku sendiri saja kali itu, bersepeda, dan membawa buku. Aku junior, menganggap dorongan itu serius, mainlah ke kuburan, rasanya sejuk, adem. Apa yang kau takutkan di siang bolong begini?, batinku menguatkan niat. Hanya mampir sebentar apa salahnya? Lagipula ada rumah penduduk disekitarnya, 30 meter-an dari gerbang pekuburan. Ada manusia lain paling tidak, pekuburan ini bukan semena-mena menjelma dunia lain yang kautakutkan, batinku menguatkan iman. Sesampainya, aku memasuki pekuburan dengan perasaan takjub sekaligus takut. Takjub karna akhirnya aku menjalankan niatku yang aneh ini, dan takut kalau ketakutanku benar adanya, barangkali saja mataku bisa menangkap sosok ngeri semacam kisah gadis Jembatan Ancol. 

Tapi sepertinya mataku masih diberkahi kekuatan yang biasa-biasa saja. Aku mengamati pekuburan dari ujung kiri ke ujung kanan, tak ada yang bisa kulihat menembus pohon. Aku melangkahkan kaki tak jauh dari gerbang, mendekati salah satu nisan yang terdekat, memilih-milih kubur yang agak terawat agar bisa mengistirahatkan bokongku. Angin semilir sewaktu pertama kali aku datang. Aku mengucapkan salam untuk ahli kubur dan duduk disebuah benda, entah kayu pohon tumbang entah marmer kuburan, lupa-lupa ingat. Pekuburan itu bak rumah lama yang kukunjungi kembali, entahlah, seperti tak perlu berformal-formal ketakutan. Pohon-pohon besar yang tak kutahu namanya tak menyambutku dengan seram, aku merasa disambut dengan senyuman. Lalu kubuka bukuku, buku pelajaran yang harus kuhapal karna (seingatku) ujian kelas 6 akan berlangsung. Aku membaca, iseng mencoba menghapal pelajaran saja daripada melulu memelototi nisan, dan tempat ini, secara tak terduga memberi kekuatan untuk memahami dan mengingat isi bacaan. Sekarang aku lupa, tapi pada waktu itu, aku sangat bersyukur karna belajar di sana membuatku lancar mengerjakan ujian untuk mata pelajaran yang sudah kuhapal itu. Alasan rasionalnya, karna pekuburan itu hening dan sejuk. Pelajaran jadi mudah terserap. 

Selepas sekolah dasar sewaktu puber, aku tak lagi mengingini hal-hal yang aneh-aneh semacam ke kuburan sendirian. Aku tak bergaul main lari-larian, umbul-umbulan, dan sepedaan bersama tetangga laki-laki. Aku menjalani hal yang lebih aneh sebenarnya, menutup diri dari laki-laki, dan menginginkan pacar. Dorongan untuk tak membumi, berkhayal ke langit-langit karena menyukai lawan jenis begitu menggebu. Saat-saat itulah aku bersosial dengan para gadis perkotaan di SMP, skala yang lebih luas dibanding gadis-gadis di kompleks perumahanku yang hanya di pinggir kota. Keasyikanku beralih rupa, dari kuburan ke mall, ke-heningan ke ke-ramaian. Ketakjuban yang dimiliki gadis puber yang baru melihat ada dunia lain yang lebih semarak.

Sepuluh tahun lebih berlalu, aku tak mengingat kesan aneh di pekuburan gang buntu. Semasa remaja jalan gang buntu itu juga kuabaikan saja, karna memang tak searah kalau akan ke sekolah. Semasa kuliah lebih-lebih lagi, aku meninggalkan kotaku untuk melihat dunia lain yang mungkin lebih menakjubkan. Dunia yang (ternyata) mengembalikanku untuk tidak kemana-kemana, supaya aku kembali saja ke masa kecilku dan mengingat hal ini: pekuburan gang buntu. 

Kini aku memang harus mengunjungi gang itu barang sebulan-dua bulan sekali, sambil membawa kembang merahputih dalam tas kresek. Aku punya tujuan sekarang, tak sekedar memenuhi kesan aneh dan merasakan sepoi angin serta keheningan untuk menghapal pelajaran yang tak ingin kuhapal. Kukunjungi ia yang memberiku ruas nadi dan seraut wajah yang kurang lebih mirip. Bukan sekedar ia, tetapi juga para tetangganya sekarang. Mengunjungi kehidupan. Aku menikmati kunjungan kehidupan di nisan-nisan itu, di antara pohon-pohon yang menemani mereka. Pandangan kecilku dulu, mungkin, hanya sedikit tanda, untuk mengakrabi kehidupan lebih lanjut.

Komentar