Minggu siang di pasar super

Minggu siang disebuah pasar super, aku mencari roti kesukaan sebagai bekal sebelum rutinitas matikutuku dimulai sore nanti. Di pasar super inilah roti itu dibuat, dan meski agak terpaksa harus bayar parkir, tapi aku tak punya pilihan kedua untuk bekal yang lebih memuaskan dan terjangkau lokasinya. Siang itu terik, parkiran penuh. Perasaanku tak enak.
Sepertinya ini saat yang tak tepat hanya untuk membeli roti kecil di sebuah pasar super, batinku berubah pikiran dan tak jadi memasuki pintu otomatis-buka. Tapi keraguanku teratasi dengan sifatku yang tak mau hasratku dengan roti itu gagal. Ingat, tak ada pilihan kedua, batinku lagi, mengoreksi keraguanku. Meski cuma roti kempes, tapi ia cukup mengenyangkan sampai menjelang malam matikutuku.

Benarlah, parkiran itu tak berbohong, orang-orang memang tak punya waktu lain untuk berbelanja selain di Hari Minggu. Sial sekali mereka. Sekalinya harus belanja, dempet-dempetan, dan antri pula. Apalagi, Hari Minggu ini merupakan hari keramat bagi mereka. Aku yakin betul itu.

Pertama, hari ini tepat tanggal 31 bulan Juli. Hari yang sudah uzur. Beberapa dari para pegawai mungkin dijadwalkan berkantong-penuh sebelum akhir bulan. Beberapa yang sial baru beruntung di awal bulan. Yang berkantong-penuh gembira ria, karena di hari libur ini bisa sejenak lupa ingatan terhadap pekerjaan yang payah, dengan melihat pameran karya seni komersil di pasar super itu. Karya seni tentu, karna pajangan kaleng sup di rak-rak pasar modern pernah dibikin hits oleh Warhol, seniman yang ndesain itu. Thanks to Warhol, yang memberi kita inspirasi bahwa pasarsuper merupakan galeri alternatif buat kita yang ga mudeng dengan karya post-kontemporer. Sudah kontemporer, post pula! Aku asal saja menyebutnya.

Kedua, hari ini orang-orang, suka nggak suka, menyambut sukacita datangnya bulan penuh hikmah. Yak, menurut perhitunganku sendiri, puasa Ramadhan akan berlangsung esok pada tanggal 1 Agustus. Berarti masjid-masjid akan penuh nanti malam, meja makan harus siap menyambutnya juga. Sahur esok hari pertama puasa tak boleh dilewatkan. Berbondonglah pasangan suami-istri, istri-anak, mantu-cucu, atau kwartet keluarga bahagia, atau serombongan ibu-ibu kampung, memenuhi pasar super ini. Aku yang cuma selinting, ga perlu mondar-mandir cari barang yang bisa dimakan esok sahur atau esok buka. Rotilah yang kutuju, juga sebotol jus nanas buatan pasarsuper, langsung kusambar karna aku terhipnotis warna kuningnya yang elok. Tak lama, aku menuju kasir yang berbeda dari hari biasanya.

Aduh. Sial. Aku kalah belanjaan sama mereka-mereka. Satu genggam tanganku bisa memuat roti dan jus nanas, tapi, dua genggaman mereka bisa memuat satu troli!  Kalah telak. Namun, dua makhluk manis di genggamanku menghibur, jangan kembalikan kami, katanya, berjuanglah agar kami selamat di tanganmu. Itu jelas bukan hiburan, melainkan bujukan. Aku tahu, aku sudah terlanjur sampai disini. Tak ada pilihan kedua kalaupun aku keluar dari sini dengan tangan hampa. Dengan ekspresi sebal tertahan, aku ikut mengantre, tak lupa mengutuk hari Minggu keramat ini.  

Aku berada diantara gajah bengkak, tak mungkin bisa menyalip mereka. Tapi lihatlah, troli-troli mereka menunjukkan antisipasi kekurangan bahan makanan. Sirup-sirup yang tak cuma satu-dua, buah-buahan yang tak cuma seplastik, kurma-kurma eksis, kaleng-kaleng biskuit yang membentuk menara. Orang-orang dewasa sungguh bekerja keras untuk dapat membeli  semuanya dalam sekejap.


Kalau saja aku mereka, mungkin saja aku bisa seperti itu, mungkin setahun sampai sekian tahun kelak, dimana kebutuhan dua makhluk jadi satu, tiga jadi satu, empat, sampai sekian, jadi satu. Pasarsuper ini menjelma gula-gula yang dirubung semut, antre bahan makanan demi ‘musim lapar-siang-siang’ sebulan kedepan. Aku jadi sinis dengan kekeramatan hari ini, menyambut sebuah tradisi yang dikhawatirkan menagih maaf di akhir ritual. Menagih sesuatu yang kerap dinamai kemenangan. Menang dan bebas dari penderitaan ‘lapar siang-siang’. Kalau ritual ini berlangsung setahun apa jadinya, aku malas membayangkan. Bagiku sebulan nanti memang jadi bulan percontohan buat bulan-bulan lain, tapi kehebohan pasarsuper di hari minggu ini membuyarkan ke-idealan ritual itu. Dua faktor menggenapi keherananku di minggu terik ini, antara urusan dompet yang bengkak dan iman yang kehausan pahala. Gara-gara matahari bersinar terik pula, agaknya aku jadi waras untuk menggali-gali keganjilan iman mereka. Maaf ya, bapak, ibu, dik,mbak, mas. Semoga makan secukupnya lebih nikmat daripada sekedar menahan hawa lapar saja. 
Kalau urusan hati, uruslah sendiri.

Komentar