Our yellow innocent family

Benjut yang baru, si tampan.


KARNA pemberian seorang kawan berinisial n.u.e. , seekor makhluk kuning benjol mulai menyita perhatianku 6 bulan terakhir. Awalnya kutitipkan dulu ditempatnya, karena ternyata ia dihinggapi jamur, sehingga harus dikarantina dan diberi obat. Jamur itu menyerang bagian kepala, sehingga dahinya yang berjambul tampak makin menyembul karena serangan jamur. Karena sakitnya itu, akhirnya kupanggil dia “Benjut”.

Benjut kupelihara kurang lebih 2 bulan, dan ternyata menyenangkan melihatnya ga bisa diem, dan antusias waktu kuberi makan. Mulutnya yang monyong, majumundur sewaktu makan, juga menggemaskan. Padahal dulu aku benci ikan koki, jambulnya yang putih itu kubayangkan seperti buih2 otak yang keluar dari kepalanya! Tapi kini justru itulah yang membuatnya menggemaskan, selain bibirnya yang suka cuap-cuap.

Memelihara ikan ga seribet binatang mamalia rumahan seperti kucing atau anjing. Pas untukku yang ga mau punya tanggungan binatang seperti itu di kosan, yang notabene bukan rumah sendiri. Benjut hanya sendirian saja di rumah kacanya yang bulat seperti bola dunia. Aku tak membelikannya teman karna ingin menganggapnya anak tunggal (konyol kedengarannya, seolah anak kesayangan, satu-satunya!). Meski cuma satu ikan, aku merasa Benjut beda dengan ikan lainnya, misalnya saat pulang kos, aku merasa ia menyambut kedatanganku dengan goyangan ekornya yang lebih cepat sambil terus menatap kearahku. Kadang ia bergerak seirama suara bass dari musik yang kuputar. Aku bisa berlama-lama menemaninya makan dengan menyuapinya butir demi butir.

Sayangnya, ketika pindah di kos baru, nasib Benjut kurang begitu baik. Ia sering kutinggalkan seharian, dan airnya tak rutin kubersihkan. Pada suatu ketika, Bun, membelikan teman untuk Benjut. Sebenarnya aku tak suka ia mendahuluiku, karna aku ingin memilih sendiri teman yang menurut feelingku cocok dengan Benjut. Seketika itu Benjut berubah, ia tak lagi antusias menyambut suapan-suapanku, mungkin senang dan sibuk beradaptasi dengan ikan baru itu. Oya, newcomer itu kupanggil Ceplok, karna warna seluruh badannya kuning, dan hanya ujung ekornya saja yang putih. Ia mengingatkanku dengan telor ceplok. Sayang Ceplok gak selucu Benjut, ia kuanggap ikan koki yang menyeramkan dan ga ramah.

Singkat  crita, beberapa hari kemudian, Benjut jamuran. Lebih parah dari pertama kali kukenal dia. Bun memberikan obat biru ke airnya, dan, (aku tak tahu apakah perbuatan ini benar): Bun mengoleskannya di dahi Benjut langsung dengan tangannya! Mungkin dianggap bakalan cepat sembuh. (emang orang panuan, dioles langsung???) Then, one day after, at the nite sepulang kerja..aku menemukan Benjut diam ga bernyawa!! Ya Tuhan, si Benjut ikan pertama kesayanganku mati secepat itu! (baru 2 bulan!)

Paginya, mayatnya kuminta untuk dikuburkan Bun disebelah kamarku. Bagaimanapun juga ia bukan ikan biasa bagiku, maka jasadnya tetap penting diperlakukan. Ia kutaruh di kotak bedak bekas, dan nisannya dipilih salah satu batuan disekitar situ, lalu diukir tipis dengan tulisan “RIP Benjut”. Ceplok lalu kuserahkan Bun untuk dia pelihara karna aku kurang menyukainya, ia juga kuanggap biang keladi sakitnya Benjut. Aku membeli ikan baru, tetap ikan koki. Kupilih berdasar feeling, dengan melihat corak warnanya, muka, dan sorot matanya, lebih kecil dari ukuran Benjut.

Karna susah membiasakan nama lain selain Benjut, akhirnya kuberi nama ikan baruku Benjut Junior. Ben-jun singkatnya. Tapi karena tetap suka salah manggil, akhirnya ikan Benjun jadi kupanggil Benjut saja. Jadi, seperti Benjut II, gitu deh. Benjut yang baru ini sama menyenangkannya dengan Benjut lama. Pada akhirnya, Benjut baru ini juga kuserahkan Bun untuk dipelihara saja di akuariumnya yang lebih besar. Bun memelihara banyak sekali ‘ikan hamil’ (lupa namanya), yang ga bakalan bisa segede jempolku; satu udang; dua ikan transparan; 3 ikan panjang yang geraknya seperti kilat (juga lupa namanya); dan tentu saja, si Ceplok yang tambun. Benjut baru pasti senang punya banyak teman dan tempat bermain yang luas. Apalagi, Bun memasang batu-batuan yang ditata seperti stonehange buat tempat petak umpet ikan-ikannya, juga tali rafia yang dibikin seperti rumput laut. Lama kelamaan, akuariumnya pun berlumut, sehingga semuanya tampak alami. Aku menyukai ikan-ikan sederhana yang berada di taman bermain itu. 

 
Ceplok yang tambun dan kurang gesit. Pelan tapi pasti.


Kini, akupun menyukai Ceplok. Mereka seperti kakak beradik. Suka melihat tingkah mereka berdua berebut makanan dari tanganku. Ceplok adalah si tambun yang gampang menghisap 4 butir makanan sekaligus, dengan tenang dan anggun, sedang benjut paling banter cuma 2 butir, itupun didapat dengan tergesa-gesa, cepat-cepat dibawa ke dasar dan dikunyah agak lama di dalam air. Ceplok pemakan berat (dan cepat ditelan), kalau Benjut si panik yang susah belok badan kalau makanannya kelewatan, jadi sasarannya sering diambil Ceplok atau ikan lain. Benjut dan Ceplok sering jadi bahan obrolanku dan Bun, juga jadi bahan tertawaan. Memelihara mereka sangat menyenangkan pikiran, seperti membahas anak-anak sendiri. 

Untuk mendokumentasikan mereka, aku terpaksa memisahkan mereka dari teman-temannya, lalu sementara kupindahkan ke akuarium bundarku yang lama. Itupun sangat susah karena mereka ikan yang lincah sedang aku fotografer amatiran (no problem). Susah mendapatkan angle muka mereka berdua bersebelahan dan mendongak ke air. Untungnya salah satu kepotret juga swaktu lagi ‘mangap’, and they’re soo cute & innocent! I must be thankfull of they life and they present in my life now.. Happy time together:)
  
happy time! ngurus iwak

Komentar