Urban : Galeri Pembebasan Seni

Mengapresiasi GALERI URBAN, Narasi Kota dalam Labirin Seni

Terbitan Ekspresi Buku,2009


Ternyata, galeri urban adalah galeri dengan karya-karya yang penuh faktor kompleksitas pada saat pembuatannya. Ia tak melulu seni visual, seperti mural dan grafiti yang selama ini saya tahu. Bisa dibilang, saya ketinggalan jauh mempersepsikan seni yang kini kian general untuk didefinisikan.

Galeri urban adalah ruang publik yang sarat apresiasi; kekecewaan, anti kemapanan, frustasi kepasrahan, keterbatasan diri, eksistensi, dst..dst..dst..

Kotalah tempatnya, ia hanya objek semata yang terus berubah mengiringi perkembangan pola pikir manusia. Ia hanya bisu ditengah hiruk pikuk ekspresi individu, komunal/kolektif, hegemoni yang meluas serta kompleks, sehingga menjadi objek ‘timpaan’ yang mau tak mau ditumpahkan di dalamnya.


Permasalahan kota ada dalam karakter penghuninya : plural, kompleks, heterogen, labil.

Pergerakan dan perubahan lebih cepat dirasakan di kota dibanding di desa. Semangat komunal dan kekerabatan dekat dengan atmosfer desa, perubahan sangat minim karena ia disistem untuk menjaga tradisi. Sistem tradisi mungkin dirasakan sedikit (atau banyak) menghambat kebebasan diri, hingga setiap individu yang mulai memberontak pada kondisi tersebut mulai mencari pembuktian akan kebebasan yang belum pernah dialaminya. Kota menyediakan tempat untuk itu : ekspresi, gejolak, eksistensi, kebebasan mencari dan mengidentifikasi jati diri (sebelum istilah kota itu ada, mungkin ruang semacam itu ada dalam cita-cita merekaJ, namun dengan latar belakang sejarah masing-masing daerah). Mungkin saya bisa menamakannya semangat urban, semangat bagi subjek yang sebelumnya tinggal di lingkungan tradisi. Ada kepercayaan yang dinilai secara kolektif dalam jangka waktu yang panjang dan akhirnya mendominasi, berjalan seolah tanpa alasan dan sanggahan yang berarti. Persepsi itu meluas, pembuktian dilakukan dengan gencar dan massal secara perlahan namun pasti. Teristilah-lah budaya urban, yang secara kolektif menimbulkan semacam evolusi pikir yang membutuhkan ruang tersendiri bagi perkembangannya.


‘Menjadi Kota’ seolah impian yang menawarkan kehidupan yang lebih normal, lebih layak..

Disinilah kompleksitas kota dimulai, dari pemahaman yang diyakini oleh pihak di luar terhadap apa yang dilihatnya. Sedang subjek yang berada dalam situasi telah ter-urban-kan, mengalami kesepakatan absurd dengan dominasi kepercayaan,nilai dan sikap yang ada sebelumnya.


Seni punya sejarahnya sendiri. Tapi lagi-lagi itu juga bentukan dominasi tadi. Ia tumbuh berkembang dalam peradaban kota, menjadi kebutuhan tinggi yang dinikmati minoritas kaum berada (juga berkuasa). Di Eropa, seni mengalami semacam peradaban aliran, penamaan atau istilah yang tersepakati dengan nilai-nilai tertentu. Kota menyediakan ruang untuk kebebasan yang bernilai, persaingan yang lebih diakui, diterima, atau justru disingkirkan. Karena kebebasan ekspresi itulah ia semakin selektif. Terkonvensikan adanya kriteria karya yang dianggap ber-seni. Alur kehidupan kota, dengan ekspresi dan sikap yang bergejolak minim prediksi karena heterogenitas tersebut, membuat penilaian tak bisa lagi seragam. Untuk menjadi dominan ia harus melalui persaingan kolektif hingga dianggap punya kuasa untuk diakui.

..

Berabad kemudian, tak ada lagi yang pasti untuk suatu hal, seperti seni misalnya.

Yang pasti hanya ketidakpastian itu sendiri, seperti kata Montaigne *siapa dia, seorang tokoh.. tapi entah saya sendiri lupa*.


Dalam GALERI URBAN, disebutkan beberapa karya seni urban: karya yang muncul karna eksistensi individu yang tak seragam melawan dominasi nilai yang ada. Kemunculan Distro sebagai penunjang eksistensi band indie, Kaus Dagadu sebagai galeri berjalan yang memuat kritisi kota Jogja, Teater kelompok Queer sebagai jembatan komunikasi dan negosiasi eksistensi kelompok dengan isu gender ( Lesbian,Gay,Biseksual, Transeksual,Interseksual), Campursari yang mengusung eksistensi musik Jawa bersemangat urban, Parkour sebagai seni ketangkasan tubuh yang menciptakan wadah bagi hasrat kaum urban untuk berekspresi yang mengandung simbol tertentu (yang ini saya kurang mengerti relevansinya), dan beberapa seni lain berusaha mengidentifikasi diri melalui gaya hidup, fashion, musik,dll. Dari gagasan eksistensi ini, bisa jadi bakal memunculkan nilai dan kesepakatan..yang bisa menjadi sasaran empuk komoditi kapitalisme. Ini bakal lebih kompleks tentunya, namun sepertinya alur kehidupan seni memang berputar untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi.


Akhirnya, saya mencoba menafsir sendiri seperti apakah seni setelah terbentur berbagai kompleksitas urban tersebut :..Ekspresi diri, ruang tanpa tekanan, yang kini juga menjelma media untuk komoditi kapitalis- sehingga membuka lahan untuk segala bentuk sikap kritis, sebagai perlindungan terhadap idealisme eksistensi diri/kelompok yang hidup dalam masa penuh tekanan.

Seni bersinggungan dengan semua aspek kehidupan. Ketika ia digunakan oleh massa yang heterogen, ia bisa menjadi tolak ukur perkembangan pola pikir manusia pada zamannya..


Kompleks,kompleks,kompleks.

Saya sendiri pusing setelah mengetahui rumitnya alur berkesenian yang terkontaminasi semangat urban itu.. Tapi bersyukur ada yang bisa saya bagi dari kerumitan ini.

Huahh..

Komentar