Memaklumi Musim




















Membanjiri Toleransi Terhadap Alam


Semarang memang langganan banjir, paling tidak itu yang dikenal masyarakat kita dari sepotong lirik ‘semarang kaline banjir’ yang familiar tersebut. Tapi beberapa tahun belakangan tak hanya kota lumpia ini yang kontrak banjir sama alam. Ibukota negara kita tak kalah ironisnya diterjang luapan air ini. Di beberapa kota kecil-pun ia tak pandang tempat. Tepatnya di kota kelahiran saya, banjir sudah seperti toleransi antar umat beragama. Mengapakah..?


Anggap saja jika kita merasa bermasalah yang bersumber dari diri sendiri, kita akan segera berusaha meminimalisir kesalahan dengan mencari solusi yang tepat dan sesuai. Kadang tidak secepat membalik telapak tangan, tapi pengalaman setidaknya membuat kita belajar. Namun jika yang terjadi merupakan masalah bersama, tentunya yang mempunyai wewenang terhadap masalah bersama itulah yang belajar dan bertindak mengatasinya. Secara pribadi tentunya banyak yang memulai kesadaran meminimalisir banjir dari kebiasaan di lingkup pribadi. Benar, meski masih tetep kalah sama yang ‘toleransinya’ tinggi tersebut.


Banyak isu mengenai kinerja pemerintah, saya tak pernah benar-benar mengerti pekerjaan mereka sesungguhnya (terutama dalam hal tren banjir di Indonesia kini). Yang saya tahu mereka mengajarkan supaya masyarakatnya toleran sajalah terhadap gejala alam yang muter sendiri itu...

“wallahu`alam”.


Di Stasiun Tawang bulan Desember 2008 lalu, keadaan masih seperti biasa ketika musim penghujan tiba. Kali itu saya melihat danau besar membentang di pelataran parkir stasiun. Ironisnya ia tampak indah sekali, lebih indah dari tahun sebelumnya:P. Di musim kemarau saya tak menyadari keberadaan jembatan penyeberangan di pelataran parkir tersebut (ia seperti tribun mungil untuk menonton pertandingan bulu tangkis -pikir saya-, tak jelas fungsinya apa). Setelah muncul pemandangan danau indah itu saya baru sadar fungsinya. Ternyata ia jalur yang menghubungkan calon penumpang antara batas jalan raya dan bagian dalam stasiun, jika terjadi banjir! Inilah ternyata solusi yang ditawarkan oleh pihak berwenang tersebut. Saya tak tahu selebihnya. Jadi calon penumpang yang hendak berkereta mau tak mau melalui jalur penyeberangan ini supaya tak perlu berbasah-basah melalui danau besar di parkirannya jika rob melanda.


Stasiun Tawang berada di kawasan Kota Lama Semarang. Ini merupakan kawasan favorit saya untuk berjalan kaki. Beberapa tahun lalu ketika diadakan gelaran promo wisata Semarang Pesona Asia kabarnya rencana merancang kota tua ini sebagai city walk akan dimatangkan. Saya duga pasti butuh biaya dan promosi yang super gila-gilaan kalau memang serius ingin menggarapnya. Aduhai asiknya kalau a little netherland di masa lalu itu bangkit kembali dan benar-benar diperuntukkan sebagai kawasan pejalan kaki. Tapi saya kecewa, tak ada yang berubah ternyata. Kawasan ini (mungkin) tidak menguntungkan pendapatan pemerintah karena berada dalam jangkauan air rob yang melanda tiap tahunnya.


Apa yang terjadi dengan saya, atau Anda, atau kita bersama, atau yang berwenang itu terhadap masalah kita bersama ? Karna ini adalah fasilitas publik, saya kira semua berhak mempertanyakannya. Kadang, di negara kita toleransi diperuntukkan terhadap masyarakat low budget untuk mendapatkan fasilitas yang kurang istimewa. Namun banjir tak sekedar membuat masalah cuma rumit disitu, karna semua kalangan, mesti toleran terhadap gejala alam ini.


“Bersusah-susah dan berenang-renang ke tepian,

tak juga bersenang-senang kemudian...” :(

Komentar