Harapan dan Suasana

Malam Natal 2011, O Km Jogja


Tahun-tahun di malam natal, hampir selalu kulalui berada di rumah saja. Kalau-kalau ada rencana untuk merayakan hari terakhirku menjelang usia bertambah, biasanya tak terencana dengan baik sehingga selalu tak ada yang istimewa.

Tahun ini agak berbeda, aku berharap sedikit terasa berarti dibanding menghabiskan lamunan bersama hujan seperti malam-malam Natal sebelumnya. Ibu, kakak, dan Budhe memutuskan untuk menghampiriku di Jogja, yang entah, ingin sekedar berlibur atau ingin memberikan suasana kekeluargaan di hari lahirku esok natalnya, agak diluar dugaan. Seminggu sebelum natal aku berencana pulang ke rumah, dan merayakan ‘hari melamun sedunia’ untukku, dan bila aku beruntung,  hujan akan datang menemaniku sambil memberi backsound yang bagus untuk mendukung suasana. Aku, antara senang dan aneh mendengar kabar mereka yang ganti berkunjung, berharap semoga liburan bagi mereka sekaligus menjadi kesenangan untukku karena jarang bisa bepergian bersama di Jogja. Mungkin mereka akan membuatku sedikit terasa berharga, atau mungkin juga, mereka hanya sekedar bosan dengan rumahnya sendiri, sehingga perjalanan jauh akan membuatnya refresh. Aku hanya khawatir, hanya bisa menemani libur mereka sampai esok hari (karena tidak berlakunya tanggal merah berjudul ‘cuti bersama’ untuk bisnis surat kabar).

Tapi lagi-lagi, semua tak berencana dengan liburannya, sehingga pada sore menjelang malam, mereka baru tiba. Setelah beberapa debat soal tempat inap yang cocok untuk mereka, kami memutuskan untuk tetap menginap di kamar kosku yang mungil. Hari yang semakin malam akan cepat habis hanya gara-gara mempermasalahkan dimana penginapan yang cocok. Beberapa penginapan murah di sekitar Jalan Prawirotaman sudah penuh, dan beberapa penginapan kecil dengan interior yang ‘wah’ tidak sesuai dengan budget kami yang ingin berhemat. Pukul tujuh berangkatlah kami hendak menikmati keramaian Jogja.

Satu-satunya yang terpikir dari Jogja untuk mereka, adalah tempat berbelanja.   Namun agaknya kita kesusahan mengungkapkan keinginan masing-masing dengan tujuannya berada di Jogja . Aku mengusulkan ke Sekaten sebagai tempat alternatif termudah yang bisa kita kunjungi malam itu. Tapi aku tak berfikir jauh bahwa malam Natal sekaligus bertepatan dengan weekend panjang bagi pekerja kantoran. Kami terjebak macet! Dan rasanya seperti burung dalam sangkar. Kami menghabiskan hampir 2 jam untuk lepas dari kemacetan di O Km Jogja, dan memutuskan untuk tak berbelok ke arah Sekaten. 

Para ibu-ibu --Ibuku dan Budhe--, menganggap polisi tak becus menangani lalu lintas. Disusul kemudian dengan menyalahkan banyaknya penyeberang jalan yang nekat menerobos, dan tak lupa becak dan andong yang ikut memenuhi badan jalan. Aku berpendapat lain, bahwa tidak hanya libur panjang sampai Senin, tapi beginilah Jogja di malam minggu, dan ini semakin parah. Bus-bus besar juga seenaknya melintasi jalan utama yang sudah padat, sehingga memuncaklah berbagai alasan yang semua masuk akal. Belum lagi kuingat cerita seorang teman sales mobil, bahwa penjualan mobil ditargetkan min 5 unit dalam sebulan, dan berujung pemecatan bila tak sesuai target. Bagaimana jadinya kalau perusahaan mobil ada puluhan? Kini kulihat mobil berserakan terdiam bisu, motor-motor melaju pelan dengan liukan yang dipaksakan diantara gang-gang mobil, dan tukang becak turun dari sadelnya menuntun becak berpenumpang 4 orang (beberapa penumpang becak akhirnya menyerah berjalan kaki setelah menyadari mereka sudah terlalu lama berada di becak dalam kondisi becak yang tak juga jalan, haha!) 

 Jogja diserbu wisatawan, dan hampir semuanya memilih untuk menghabiskan malam di satu titik, termasuk juga kami! Alangkah naifnya keinginan atas keramaian ini, dan kuhabiskan di malam natal pula. Aku merasai, bahwa betapa sia-sianya liburan ini jika kami hanya menghadapi keramaian yang sesak, kemacetan. Betapa banyaknya para pekerja yang berharap bisa merefresh otaknya dalam 2 hari libur, keluar kota atau ke pusat kota saja, tapi malah menemui keriuhan luar biasa dari sebuah tempat hiburan, maupun tempat perbelanjaan. Apa enaknya mencari hiburan, dimana berjalan kaki saja susah, berdempetan dengan tubuh-tubuh lain yang berteriak-teriak agar suara masing-masing terdengar di keriuhan semacam itu? Semuanya mencari keramaian, agar hatinya yang kebanyakan susah tak lagi ramai memikirkan nasib susah. 

Tak berkesan malam itu, mungkin karna aku berharap banyak untuk sedikit istimewa. Namun dengan berlangsungnya keriuhan, dan kemacetan, dan perbincangan mengenai kemacetan oleh para ibu itu, aku jadi merasa lebih baik dengan malam-malam natalku yang telah lalu, dengan secangkir teh dan buku catatan, diiringi suara hujan yang tak deras, dan suara tv yang timbul tenggelam. Dengan diperbandingkan, suasana sederhana yang kulalui sebelumnya jadi terasa bernilai.

Malam Natal 2009, di rumah saja


Komentar

Posting Komentar