Halal Bihalal

dreaming of ancestor, 7.10.11


MALAM ITU aku bertemu Pa tiba-tiba. Dia menggandengku keluar dari rumah kecil kita di Jalan Turangga, agaknya ia menyuruhku tergesa agar tidak terlambat ke sekolah. Aku terheran dengan sikapnya, lalu menduga: oh, aku masih sekolah rupanya. Kita berjalan kaki, dan aku mendugai lagi, adegan ini menandakan bahwa ia sedang mengantarku ke sekolah (padahal ia jarang sekali mengantarku sekolah). Aku melihat tubuhku mengecil dan (seingatku) mengenakan rok selutut warna hijau muda dan kemeja kuning pastel pucat (warna seragam sekolah dasarku). 

Sekolahku tak jauh, sekolahku besar. Sebelah utara dan baratnya berbatas sawah dan kebun pisang. Tak jauh sebelum sampai, kami melihat gerbang sekolah berkumpul orang-orang. Aku semakin dekat, dan menyadari, para guru-lah yang sedang berkumpul di depan gerbang. Aku yakin sekali, bahwa saat itu ialah hari pertama kami masuk setelah libur panjang, dan sekolah sedang merayakan halal bihalal. Para guru berjejer rapi menyambut kedatangan aku dan Pa, yang entah kenapa, harus dimulai dari muka gerbang. Aku lalu berkata riang pada Pa, bahwa ternyata ini hari bebas, para guru menyambut murid dengan berjejer rapi didepan gerbang, berarti Pa juga harus bersalaman dengan mereka. Pa diam saja, mengiyakan. Aku berlari kecil mendahuluinya, hendak bersalaman terlebih dulu. 

Kaget, rupanya para guru berwajah amat keriput. Guru-guru perempuan yang kukenali diantaranya adalah simbah-simbah di desa ibuku. Simbah Buyut, Simbah Tun, dan Simbah Uti. Simbah Uti, menurut perasaanku, sedang berperan menjadi Kepala Sekolah. Simbah Buyut adalah ibu Mbah Uti, dan Simbah Tun adalah saudara Mbah Uti. Aku bukan hanya bersalaman, namun juga mencium pipi mereka satu persatu, mereka tersenyum manis, dan memegang pundakku sambil mengelus-elus sebentar. Aku menikmati kejutan aneh itu, sampai tiba giliran Pa bersalaman dengan Simbah Uti. Sekedarnya, tak berbasa-basi sepertiku terhadap mereka. 

Pa kuabaikan, karna Simbah Uti langsung memanggilku mendekat lagi, dan tiba-tiba air matanya mengaliri pipinya. Mbah Uti mengucap terimakasih padaku, karna ia mengajak Pa ke sekolah, sehingga ia bisa bertemu dan bersalaman lagi dengan Pa, setelah sekian lama tak bertemu…. 

Aku bingung, tapi tak berhenti menduga. Ya, memang mereka jarang sekali bertemu. Lalu kenapa sampai terharu sekali begitu? Ucapannya menyiratkan rasa bersalah dan keterharuan yang dalam. Aku melupakan dimana Pa saat itu, hanya terdiam tak mengerti sembari menenangkan Mbah Uti. Pa menghilang dan cerita usai. Pertanyaan dan kesan pertemuan itu mungkin begitu kuat, sehingga kubawa bangun dari mimpiku..



Sesampai di rumah, ibuku mewanti-wanti aku, agar besok segera menjenguk Pa.”Karna,” ia segera memberi alasan, “Mamah diimpeni Papa”. Aku kaget karena ia mengingatkanku dengan adegan di ‘sekolah mimpi ‘ kemarin malam. Ya, lalu kuceritakan mimpiku padanya, dan ibuku agak melotot mendengarkanku, ada sinar kekaguman sekaligus kengerian. Tapi komentarnya tak lebih dari menyuruhku tak boleh lupa menengok Pa besok pagi.


MIMPI TENTANG Pa selalu menarik. Ia menjelma sekumpulan kode yang tak boleh terlupakan. Kupikirkan terus mimpi itu sampai kuceritakan lagi pada kakakku, karena diapun juga harus menengok Pa besok bersamaku. Saat mendiskusikan ini, aku lalu menghubung-hubungkan tentang tiga simbah yang berperan jadi guru. Bagiku, memang cuma mereka yang kukenali wajahnya. Mbah Buyut dan Mbah Tun, sudah lama meninggal saat aku kecil. Mbah Uti, masih sehat sampai sekarang. Kalau memang mimpi ini jadi pengingat agar aku tak melupakan Pa, mengapa simbah-simbah itu ikut berperan dalam mimpiku?
Satu kata yang diucapkan asal saja oleh kakakku dan menjawab sedikit teka-teki ini : HALAL BIHALAL. 

Aku bermimpi meyakini bahwa saat itu sekolah sedang mengadakan halal bihalal, sedang para guru ternyata adalah para simbah di desa ibuku, bukan sekedar kebetulan jadi-jadian. Setiap Lebaran kami selalu pulang ke desa ibuku di Bojonegoro, mengunjungi Simbah Uti. Dan tahun ini, aku tak melewatkan acara ke kubur orang tua ibu (aku hampir selalu melewatkan acara ini). Di tahun-tahun akhir hidupnya, Pa, tidak ikut bersama kami pulang ke Bojonegoro, sehingga ia lama tak berjumpa dengan mertuanya.

Halal bihalal merupakan kode yang tepat untuk memberitahukan, bahwa kami (aku, ibu dan kakak), belum menengok Pa seperti halnya aku menziarahi leluhur yang lain (Simbah Tun dan Mbah Buyut yang menjadi perwakilan kodenya, karena cuma mereka yang kuingat wajahnya). Mbah Uti yang masih hidup, mewakili kode lokasi (Bojonegoro). Dan menggabungkan mereka dalam adegan acara halal bihalal di sekolah adalah bingkai yang tak terduga bisa dilakukan oleh mimpi! Juga, yang tak boleh terlupakan adalah ekspresi mereka. Ayah tak banyak bicara, ia memberikan bahasa tubuhnya untuk kumengerti sendiri, namun juga tak banyak tersenyum. Simbah Buyut dan Mbah Tun yang sudah lama tiada, memberikan senyum, pelukan dan usapan kecil di pundakku tanpa bicara. Dan Mbah Uti, anehnya malah terisak menangis dan mengucapkan terimakasih padaku setelah bersalaman dengan Pa. Pa mungkin mengharapkan kunjunganku, sedang Mbah Buyut dan Mbah Tun berterimakasih atas kunjungan kami Lebaran silam, tapi aku belum bisa mengerti kode tangisan Simbah Uti-ku..


Namun, terlepas dari kode-kode yang membuatku penasaran itu, dalam hati aku merasa senang sekali berjumpa mereka, senang sekali bahwa ini tak sekedar bunga-bungaan tidur yang seringkali terlalu absurd untuk kumengerti, dan senang sekali dengan skenario halal bihalal yang merangkai pertemuan kami sekaligus pengingat atas kealpa-anku mengunjungi Pa. 

***

Selesai kuanalisa sendiri kode-kode mimpi itu, kakakku lalu menimpali:
“Eh, ya..ketokke aku yo ngimpi Papah mau mbengi, tapi aku lali piye mimpine….”
 Hmm...

dan analisa seorang kawan: 
“Papamu percuma masuk ke mimpinya masmu, soalnya dia orangnya pelupa” 
:))

Komentar

Posting Komentar