Macan kambing

Aku bukan tak mau berkawan denganmu. Tapi berkawan denganmu menyulitkan sikapku. Kau mungkin bisa memanfaatkan sikapku yang meragu dan merendah. Diantara kawan seruang itu, siapa sih yang biasanya kau andalkan? Aku ; seorang pria kawan sepertemuan denganmu ; dan mungkin, pria yang usianya separo baya beranak balita yang menurutku, sok melucu dan terkadang memang lucu. 

Bicaramu penuh khayali semata, seperti bunga artifisial yang sok indah dan awet. Tertawamu ringan seperti melupa baru kemarin melotot dan mencucu. Kau membuat adegan yang bisa kita tonton dengan perasaan benci sekaligus takut. Benarkah itu sisi dirimu yang sungguh-sungguh? Tanyaku pada diri sendiri, sewaktu awal memulai kekancan denganmu. Aku ragu dengan penilaianku yang negatif, maka kubiarkan kemungkinan-kemungkinan positif membuai agar aku tak terpancing dalam kemarahan yang sepertinya menular di ruangan itu.

Bulan berlalu. Aku mengikat erat diriku dalam tempat duduk ‘tahanan’, memelototi aksara-aksara yang punya standar tertentu untuk digunakan. Mataku sakit, badanku penat, mati kutu. Aku mulai tak percaya aku ini perempuan macam apa sebagai manusia. Aku meragukan semuanya. Kupikir kemungkinan-kemungkinan positif itu sudah tak sering mampir lagi di otakku. Makin ragu, rendah. Bukan karna pekerjaan ini, tapi pikiran terhadap hal lain yang mungkin bisa kulakukan. Aku tak mampu mewujudkan hasratku sendiri, mengalah demi rutinitas ini. Mati kutu.

Tapi, ada kau, yang mungkin lebih harus kumaklumi daripada keluhanku yang kekanakan. Kau seperti tak punya daya dengan macan peliharaanmu yang buas. Macan yang mengalir dalam urat nadimu, yang dipaksa akur dengan kambing gunung­­-peliharaanmu kedua. Dan macan, akan kelaparan dengan suguhan kambing di sisinya. Lalu sekarang, yang tersisa tinggal macan buas yang selalu lapar, karna kambingmu, kau relakan demi si macan totol yang sepertinya tolol.

Aku tertahan, saat kau bercerita makhluk-makhluk manis berkumismu, saudara jauh macan yang kau biakkan dalam darahmu. Aku jadi teringat, seorang kawan lain yang welas asih dengan makhluk yang sama kau sukai. Kupikir, kau polos dan dasarnya penuh kasih. Kepingan fakta kukumpulkan demi menganalisa keganjilan yang sering kurasakan saat kau mengobral kata-kata. Kadang penting, seringkali kubuat tak penting. Aku lebih tak mampu kasihan pada diri sendiri dibanding menjauhimu. Kuturut kata hati, kalau memang demikian yang diamaui alam, menanggapi pembicaraanmu yang mengambang seprti buih, lalu meletus di ketinggian yang tak tinggi.

Cobalah, sepertinya nafasmu terlalu cepat kau tarik-hembus. Energimu seperti macan, giras. Tapi kau, macan yang tak biasa, karna kau, membuat taktik tanpa taktik. Mungkin itu karna kau kuwalat sama kambing gunung yang sebenarnya ulet dan polos. Giras, rakus, merasukimu.

Sebenarnya aku tak perlu melulu mempermasalahkan ini. Toh, kita sama-sama anak manusia biasa. Kulihat sifatmu di sifatku. Kalau-kalau kau bisa mengutuk orang seenak kentut lepas landas, aku cuma bisa menggerundel dalam hati selepas dari lambung. Kutahan-kaulepas. Kupikirkan-kau tinggalkan. Betapa tipisnya perbedaan itu. Anehnya, aku merasa sakit memikirkanmu yang sakit. Alam menjodohkan kita sebagai pesakitan yang alamiah.
Kejengkelanku meluap saja bersama desah napas panjang yang kulepas, tanda tak mampu mengatasi perkawanan yang aneh ini. Aku tutup rapat isi pikiranku, karna tak penting lagi untuk bisa berbagi. Terlalu dipaksakan. Kau tak mendengarkan saran, kau tak menunggu untuk berkomentar, kau juga tak menunggu untuk berkata kasar. Bawaan rahim, kau telah mengesahkan sifatmu sendiri. Lakuning alam, memang tak bisa melawan arus alam. Kau harus begitu, juga karna memberikan ajar buat orang-orang disekitar, karna tabiatmu tak enak didengar, tak enak dilihat, maka jangan ditiru. Aku juga bukan kawan yang baik, yang mau menunggumu berproses. 

Maaf. Perbuatanku ini juga tak pantas ditiru. Sebagai sesama elemen Tuhan, harusnya kita bisa saling belajar mengisi, tapi belajar, hanya terjadi ketika kau mau bersabar, menunggu. Siapa yang bisa membuatmu sabar dan menunggu? Kalau memang itu lakuning alam, bawaan ajar orang tuamu dan alam fisikmu, berarti akan butuh waktu lama. Keajaiban mungkin terjadi ketika orang-orang yang berhati welas asih mendoakan kebaikan selalu menyertaimu. Kelak kamu sadar, dan pelan-pelan bernafas penuh hayat. Aku,  mungkin tak sanggup menemanimu berproses. Jangan salahkan Tuhan lagi, yang kausembah-sembah tak tentu waktu itu. Atau kami, yang tak mau bersabar lebih lama lagi terhadapmu.Selamat berproses kawan, bukalah hatimu yang lembut itu, seperti ketika kau mengelus-elus bulu-bulu mungilmu yang berkumis pujaan hatimu.





Komentar

  1. kereeeennn bangeeettt *____*,
    ga bisa komen lainna lagi nut :'D

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. hai miw^^ *uhuk* thanks ya.. tar kpn2 crita another story bout this macan kambing ini,, *halah*hihiii

    BalasHapus
  4. suka nuts, klo jd buku aku mau jadi ilustratornya.

    BalasHapus
  5. aku pasti menghubungimu nardi^^ thanks ya. Ilustrasimu jg slalu 'kena'.

    BalasHapus
  6. hah? apakah si macan kambing ini sejatinya nuttt? :D

    BalasHapus
  7. sejatinya adalah inspirator khidupan miw.hehee:D

    BalasHapus

Posting Komentar