seorang kawan dan kopinya yang dingin

Ada kalanya ketika kau berjalan malam-malam menuju kotak tidur kecilmu di suatu kota setengah besar itu, kau akan teringat masamu yang belum lama terlampaui. Mungkin bersamaku, mungkin dengan beberapa kawan lain-lainmu yang tak cuma aku.
Bersamaku, kau cuma menemani keluguan perempuan yang separo hati mungkin kau anggap beruntung, namun dalam benaknya ia selalu merasa kurang. Bersamaku, tak banyak tawa yang bisa kau lepas, hanya obrolan yang sedang-sedang saja, namun memang bisa lama, dan kebanyakan hanya pelepasan keluguanku semata. Aku lugu terhadap dunia yang makin maju ini, dunia yang lebih melelahkan mata dan gemar mengobrol  di langit-langit.. Aku lebih ingin, mengajakmu naik bus dan lalu memanggang diri siang bolong seperti ketika itu di sebuah candi. Berlomba lari berdua di desa itu sore-sore, memamerkan energi kita yang meluap pada anak-anak kampung dan ibu-ibu yang menemani mereka. Kita bocah gede yang sejenak ingin dimengerti dunia.

Kawan,
Ada kalanya kau bosan, bahkan denganku yang jarang berhumor ini. Mungkin karena itu, tapi aku yakin, bukan itu. Kau hanya bosan, ketika orang-orang yang kau sayangi tak mengerti posisimu yang berada di tengah-tengah. Karna kau tengah, kau ambil bagian untuk sabar dan tegas, cengeng dan keras, malas dan rajin. Kau menangani yang sebenarnya bisa tak harus kau tangani. Bertahan untuk tetap siaga, meski seringkali tumbang. Kalau sudah begitu, kau lalu rindu orang-orang yang pernah menjatuhkan hatimu dan tiada bertanggungjawab atas kejatuhannya. Lalu, kalau sudah sampai disitu, aku tak begitu mengenalimu lagi,  sungguh, kepalamu terbenam seperti senja yang memilukan.

Kau mau langkah kecilmu terhitung dengan banyak cerita, tak sekedar langkah besar-besar. Kecil saja, berhenti dimanapun kau suka, dan berjalan lagi kalau kau siap kembali. Kalau berjumpa lagi dengan situasi yang pas, aku tak peduli kopi akan meletihkan organku, aku ingin mendengar ceritamu dengan penuh ingintahu, sembari menghabiskan minuman hitam itu pelan-pelan. Kau tak mengapa dengan kopi men-dingin,, sedang aku tak suka, tapi mungkin, aku merindukannya kini. Kau dan pilihan-pilihanmu itu, terkadang masih tak sesuai dugaanku.

Kubayangkan, desa yang gelap dengan lampu yang serba remang, di warung kopi pinggiran, hanya bersuarakan radio yang mengoceh berita, serta jangkerik yang lirih. Ada pak tua penyeduh kopi menemani pelanggannya yang hampir saja cuma kita, dan kadang di luar warung, berseliweran pemuda kampung dan ibu-ibu bermukena siap shalat Isya. Suara-suara jamaah mengamini imam terdengar jelas, kita cuek saja. Inilah suasana malam di desa! Sunyi dan dekat, bau warung kopi berbambu dan berlantaikan tanah, kita hampir tak menyadari pernah ada internet! Kopi dengan gelas belimbing, aroma tanah, malam begitu sempurna, dan kita bak kawan lama puluhan tahun yang belum juga menua! Kawan, sebuah bayangan ini mungkin tak seratus persen kau setujui, tapi itulah aku membayangkanmu sebagai seorang kawan. Kau bisa hadir dengan nyaman disituasi itu denganku. Kuno, tapi dekat.

Aku, mungkin tak mengenalimu lebih banyak lagi dari itu. Kita juga tak maniak untuk saling berkabar. Tapi apa gerangan yang dipertandakan malam olehku, jika bukan sebuah anugerah. Ternyata kita berkawan. Dan bagiku kau dekat. Kubiarkan saja kota lain menggenapi masa depanmu, kubiarkan saja malam menempamu dalam sepi, kubiarkan saja kau menikmati perjuanganmu, toh dunia masih menyanggupi perkawanan kita, meski pendek-pendek dan singkat saja (tak seperti bayanganku tentang warung kopi jadul di desa, aku membayangkan saat itu langit-langit belum punya brankas curhat seperti saat ini). Banyak yang tak kumengerti darimu, kau tahu itu. Bahkan tidak pula ibumu. Kau tak perlu beritahu kalau kau tak mau, tak usa memaksakan perkawanan yang indah. Kita memang tak kompak, kita juga sering tak sepaham.

Mungkin, kita perlu luangkan waktu di warung kopi imajiku itu, ngobrol, sesekali hening di beberapa detik, dan tak peduli bau menyan, juga suara azan.  

Komentar