Dari Cala Ibi*

Dari Cala Ibi, aku menemukan banyak bunyi. Rima yang menggoda, kata-kata berjalinan, berpadu-padan, saling memilin dan mengikat, jadi bebunyian merdu yang menghadirkan makna. Bayangkan berapa kosakata yang mesti ditangkap dan bahkan (mungkin) diciptakan sendiri sekenanya untuk menghasilkan banyak gagasan, dan merangkainya jadi sebuah cerita.  Membacanya butuh kesiapan waktu dan kesabaran tinggi, karena berulang kali kubaca, aku selalu menyerah ditengah-tengah dan terlupa sampai dimana aku harus membacanya lagi (meski sudah diingatkan pembatas buku). Maka, lima tahun habis untuk mengulang lembaran yang sama, terkadang dengan lompatan yang tak tentu, lebih maju dari yang sudah terbaca, lalu mundur lebih banyak lagi. Kadang aku heran mengapa aku harus mengatamkan buku ini. Mungkin jika aku mati lebih dulu sebelum bacaan ini usai, energiku masih tersisa untuk membolak-balik buku ini dan menakuti manusia. 

Dari Cala Ibi aku membuat catatan kutipan kecil, muatan yang berkesan dan tertutur apik. Ia bercerita tentang mimpi, dengan tuturan yang juga bagaikan alam mimpi. Seperti potongan lirik lagu yang tersusun rata panjang dan tak berjeda. Seperti puisi dengan larik yang digabung sejajar, justify. Rima yang menggoda, mengada-ada, dibuat-buat tetapi jadilah dia. Seperti mantra yang kerap diulang dalam ceritanya: Kaf dan Nun bertemu: Jadilah, maka Jadi. Tampak mudah dan berima indah, padahal ia terbuat dari darah yang mengalir deras, cucuran air mata, dan keringat, dan hari, dan waktu yang panjang. Seperti itulah Cala Ibi terbaca. Aku seperti masuk dalam alam mimpi yang penuh kata-kata dengan jalinan yang aneh dan tak biasa. Lalu ketika terbangun, cerita kembali pada tuturan normal, kembali wajar. 

Sesuatu entah apa. Tapi ada. Sementara kau seperti tak ada. Ketakberadaan itu mengada dengan sangat, keberadaannya begitu sarat menyerang hingga adamu seperti tertelan olehnya. Kau tak mengerti, mana yang lebih ada: adamu atau ketakberadaan itu. Kau tak berdaya oleh keberadaannya yang mencengkeram bertenaga. Jasadmu kaku, mati pikiran mati rasa mati daya. Meniada. (Beginikah rasanya mati, ketika apa-apa tak lagi terasa, dan loncatan terakhir sisa kesadaran adalah medan hitam mahaluas tanpa tepi tanpa apa-apa…)

Kata-kata berpadu untuk mengajak kita tersesat dalam labirin rasa. Rasa adalah bahasa yang sulit tertata rapi untuk disampaikan. Maka ia meramunya dalam tekanan dan ulang-an. Begitulah bagi yang sedikit atau sangat peka rasa, mungkin merasakan hal yang sama atau mirip-lah seperti itu. Membaca kalimat-kalimat pengungkapan yang seperti ini sebenarnya akan membuat sebagian besar pembaca merasa tertekan. Dan ukuran keberhasilannya justru ketika ketertekanan itu ada. Karna ia bercerita mimpi, seorang pencatat mimpi. Dan mimpi kala tidur adalah momen dimana semua hal saling menumpuk dan menjalin sekenanya, seenaknya. Maka sah saja, pembaca yang membaca dalam keadaan sadar bisa berlipat tertekan. Berlipat muak dan ingin segera mengakhiri provokasi kata-kata ini. Seperti aku yang buka tutup buka buku ini. Tapi aku memilih kembali agar tak terlanjur gentayangan.

Mungkin mereka takut membaca, bukankah itu sebuah laku yang begitu sunyi sepi sendiri. Ketika hanya ada benakmu berhadapan dengan sebuah benak lain, sepasang benak yang berjalinan menarikan makna. Dalam sunyi, namun sarat bunyi..

Kurasa Cala Ibi memang bukan cerita yang utuh dan normal seperti cerita umumnya. Justru ketertarikanku mulanya, karna kabar bahwa ia memuat sejarah Maluku. Lalu apakah aku merasa tahu banyak tentang Maluku, tenyata tidak juga. Cala Ibi membuat sejarah jadi apa adanya, misterius, mengambang, tak tentu benar tidaknya, seperti mimpi dan kenyataan. Metafor berserakan dimana-mana: sang naga, hutan kata-kata, setan iklan, ujung dan tepi, perempuan dan tuan. Senjata bagi kemutlakkan sejarah. 

Itulah sebabnya, mengapa kau tak usah berkutat menceritakan kenyataan, karena—
Ya, ya.
Karena realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita, yang mestinya tak kasat mata tak terkira. Cerita berubah, dan yang nyata… yang nyata berubah dalam penceritaan.

Sejarah bagaimanapun kaburnya, tetap menggembirakan. Ia memberi harapan. Celah diantara benar dan tidaknya adalah kesempatan untuk berimajinasi, menangkap tanda-tanda yang lahir dari ibu tanda dan nenek tanda. Tanda yang beranakpinak seiring penangkap tanda yang juga terus berpinak-pinak. Sejarah, legenda, mitos, fabel, dongeng,  adalah pembagian derajat masa lampau yang membentuk kita. Saling mempengaruhi dan membentuk ciri pribadi manusia, menawar nilai, membangun kultur. Saling melahirkan dan dilahirkan. 

Itu semata nama, cuma kata. Terlalu jauh, terlalu kabur, terlalu tak cukup, bahkan sewenang-wenang, untuk menyatakan yang nyata. Tapi hanya itu yang kita punya. Setidaknya berilah makna. Urailah sepanjang detiknya. Kuaklah seluas lembarnya. Kelak kau akan tahu betapa makna bisa bermula dari hanya sebuah kata sederhana. Berjudilah dan siap menang dan kalah. Senyumi ketakmungkinan. Syukuri yang porak poranda.

Cala Ibi mengajak pembaca, dalam istilah Triyanto Triwikromo: berpikir liris. Dalam artian, berpikir kompleks. Lebih jauh beliau jelaskan bahwa manusia merancang diri untuk mengungkapkan segala hal dengan kandungan intertekstualitasnya. Setiap hal yang dituliskan, adalah sebuah jaringan kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhingga banyaknya. Jadi, kurasa dan kupikir, gagasannya malah serupa kitab suci yang penuh metaphor dan rima yang apik, membingungkan dan metatafsir. Kalau saja novel ini diterjemahkan dalam bahasa lain, tak bisa terbayangkan, betapa jauh dan asing terjemahan itu. Tak cukup inti cerita untuk bersimpulan. 

Tapi adalah ketaktahuan yang telah memberangkatkanku, adalah ketaktahuan yang menjadikan hidup dan segala sesuatu datang manis mengejutkan, yang terus menghidupkan, mendamaikanku dengan apa-apa. Dan hanya ketaktahuan, yang menjadikan segala sesuatu taruhanku untuk sesuatu, meski aku tak tahu apa itu.



 ---------

 *Cala Ibi, novel by Nukila Amal.
Penerbit Gramedia, tahun 2004.


Komentar