'Happiness victim', best and last work. |
Ia belum genap 20 ketika pergi bersama beribu orang lainnya dalam kepulangannya bersatu dengan semesta. Saya menggenapi 20 lebih dulu 5 bulan sebelumnya. Kami begitu muda untuk begitu saja mengalami cinta dan merasa begitu tahu tentangnya. Kami berusaha bertahan, seolah mudah diyakinkan dengan kemudaan kami untuk merasa tertantang setahap lebih dewasa dibanding sebelumnya. Asanya begitu menggebu menguasai dunia dalam setiap amatannya. Sekuat pikiran ia berusaha menanjak, ego mengarahkan citanya begitu keras . Diam-diam saya menyimpulkan sendiri obsesinya yang mengeras dalam diamnya yang tak terbagi.
Saya terus membayangkan apa yang ia bawa setelah kepergiannya. Tanpa saya dan obsesi itu. Ia berlalu begitu saja akhirnya. Orang-orang terlupa, hingga lelah juga mesti mengenang-ngenang duka. Setahun, dua tahun. Tiga tahun, hampir lupa...kalau tiba-tiba saja tak ada yang membawa buku itu turun dari rak-nya hari ini. La Tahzan. Sebuah tanda empati seorang kawan.
Kejadian kecil ini membuat saya terkagum dengan alur-alur waktu yang terberi alam sebagai sebuah ingatan. Kado tebal itu seperti bagian besar dari waktu kecil saya mengenal cinta yang diputus duka. Ia terberi di kala ‘kalau saja’ masih bersama, tentunya itulah hari besarnya ke-20. Di saat ‘kalau saja’ itu kini, mungkin ia menjadi sangat berbeda di usianya ke-23. Hampir saja saya melewatinya tanpa perkara mengingat istimewanya masa berlalu.
Kalau saja waktu ada untuknya kini, tak terbayang saya yang disini saat ini. Bagaimanapun keadaan telah terberi dengan liku yang demikian membentuk saya. Melupa adalah jalan menjadi teringat dengan rasa yang kembali baru.
Semoga selanjutnya, kita tak tertawan lagi dalam suka-duka, ada dalam tawar tanpa merasa-rasa lagi, kembali sepoi seperti angin saja. Ini yang kemudian saya tangkap dari seseorang selainnya, datang dibawa waktu seperti jalurnya terbit matahari.
Selamat melayang sepoi-sepoi, And. Tawar dalam rupa dan rasa, damai bersama semesta:) Usiamu kubangun dalam ingatan. Meski mungkin tak selalu.
&,Thanks deeply,wilz.
T_T
BalasHapus[b'kaca-kaca]
Ketika gambar ini dibuat, saya berada disampingnya. Ngobrol ngalor ngidul. Saya memandang dia begitu nikmat meraut pensil untuk nantinya digoreskan. Dia lebih suka meraut pensil secara manual daripada dengan mesin. Begitu terasa menyatu antara pensil sebagai alat gambar dengan senimannya.
BalasHapusi like komenmu hep!! hehe:) gara2 itu aku juga jd tertular meraut pensil dengan tangan sendiri, pelan-pelan, sampai pensilnya runcing dengan sempurna, ga kependekan, ga kepanjangan, memang asik ternyata:) trims mengingatkan:)
BalasHapus